Tak Ada Jalan di Luar Konstitusi

116 views

Pertunjukan demokrasi yang terjadi pada Senin, 11 April 2022 di Jakarta dan berbagai daerah di Indonesia sungguh ternoda. Setidaknya saya mencatat ada dua “kegilaan” yang menodai demonstrasi mahasiswa di bulan suci Ramadan ini.

Yang pertama adalah peristiwa pengeroyokan dan penganiayaan yang dilakukan oleh sekelompok pengunjuk rasa terhadap Ade Armando, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Betapa, dalam peristiwa yang terjadi di kawasan Gedung DPR RI itu, Ade Armando digebuki beramai-ramai sampai babak belur dan berdarah-darah. Tidak cukup, Ade Armando juga dipermalukan di area publik dengan cara ditelanjangi hingga bugil. Kebugilannya menjadi tontontan massa.

Advertisements

Siapa pun sosok Ade Armando ini, sebenci apa pun kita terhadap sikap dan pikiran-pikirannya, adalah sebuah tindakan kriminal melakukan pengeroyokan, penganiayaan, dan penelanjangan terhadap dirinya seperti itu, lebih-lebih di bulan suci Ramadan ini. Itulah “kegilaan” yang pertama.

Yang kedua adalah peristiwa sekelompok mahasiswi pengunjuk rasa yang membentangkan spanduk “gila” nan jorok. Gambar-gambar spanduk yang mereka usung berseliweran di media sosial dan media online, dan segera menyedot perhatian publik.

Bayangkan, dengan bangganya, seorang mahasiswi cantik yang tubuhnya dibalut hijab nan indah itu membentangkan sebuah spanduk bertuliskan “Lebih Baik Bercinta 3 Ronde daripada Harus 3 Periode.” Sampai-sampai, di lini masa ada warganet yang berkomentar sarkas, (maaf) “Itu mahasiswi apa pelacur?!

Mungkin si pengusung spanduk itu masih punya asosiasi positif terhadap pilihan diksinya. Tapi, di bulan suci Ramadan ini, apa lacur dipertontonkan kata-kata yang mendemonstrasikan kecabulan dan berahi murahan, alih-alih pikiran-pikiran cerdas. Bukankah apa yang kita demonstrasikan seringkali mewakili alam bawah sadar kita, juga pikiran-pikiran yang tersembunyi di dalam diri kita. Begitu kata teori yang dibangun oleh Sigmund Freud. Dan itulah “kegilaan” yang kedua.

Setidaknya dua kegilaan itulah yang, menurut saya, menodai demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah yang niat awalnya insyaallah juga suci itu. Sebab, memperjuangkan niat suci juga harus dilakukan dengan cara-cara yang terpuji, bukan dilambari rasa benci. Tapi sebagian fakta yang mewarnai kegaduhan politik nasional hari-hari ini telah mempertontonkan hal itu. Dan perilaku kita dalam kegaduhan politik nasional hari-hari ini tak ubahnya bagai menggantang asap. Berjibaku dengan kesia-kesiaan belaka.

***

Faktanya, sejumlah isu yang terus bergulir hingga menyulut kegaduhan politik nasional itu, dalam konstelasi politik Indonesia kekinian, sesungguhnya sesuatu yang nyaris mustahil untuk terwujud. Isu sentralnya adalah mengubah jabatan presiden menjadi tiga periode, perpanjangan masa jabatan presiden, dan penundaan pemilu. Dan semua agenda politik nasional itu sesungguhnya telah ditetapkan oleh konstitusi dengan begitu rigid. Siapa hari ini yang berani membuka “Kotak Pandora” itu: mengamandemen konstitusi?

Mari kita menelusuri awal mula bergulirnya isu sensitif ini. Pertama tentang batasan periode jabatan presiden. Mungkin, sebagian dari pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang ada yang berandai-andai: seandainya Jokowi bisa menjabat tiga periode…

Tapi, di tangan politisi, andaian-andaian seperti itu bisa menjadi mainan baru. Begitulah, akhirnya sejumlah politisi yang partai politiknya berkoalisi dengan partai penguasa mulai menggulirkan wacana baru: jabatan presiden tiga periode. Tentu saja tak ada cara lain untuk menduduki jabatan presiden selama tiga periode berturut-turut kecuali dengan mengamandemen konstitusi.

Jika skenario ini gagal, mereka juga telah menyiapkan sejumlah skenario lain, yaitu perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu. Intinya, mereka menginginkan agar Jokowi tetap menduduki jabatan sebagai presiden, kalau bisa selama yang mereka inginkan. Entah Jokowi sendiri menginginkannya atau tidak, itu urusan lain.

Mereka, dan kelompok mereka ini, terus mendengung-dengungkan mungkinnya Jokowi menjabat satu periode lagi, atau perlunya jabatan presiden diperpanjang atau pemilu 2024 ditunda. Kita tak perlu tahu apa raison d’etre di balik itu semua, karena memang tak ada apa pun yang bisa disebut sebagai alasan rasional atau “kondisi yang memaksa” agar jabatan presiden diperpanjang atau pemilu 2024 harus ditunda. Kecuali soal pandemi, “negeri ini sedang baik-baik saja kok”.

Karena itu, yang perlu ditelisik sebenarnya adalah apa motif dan tujuan dari pendengungan wacana jabatan presiden tiga periode, atau perpanjangan masa jabatan presiden, atau penundaan pemilu 2024 ini?

Tentu saja, mereka adalah barisan yang menginginkan Jokowi tetap menjadi presiden selama mungkin. Sebab, dengan begitu, mereka akan terus memperoleh keuntungan darinya, baik keuntungan politik kekuasaan maupun ekonomi. Ada kegelisahan, jika pada 2024 nanti Jokowi tak lagi menjadi presiden, mereka akan kehilangan semuanya. Karena itu, meskipun sadar hal itu nyaris mustahil terwujud, mereka terus mencoba-coba mencari jalan agar Jokowi bisa terus bertahan menjadi presiden selama mungkin.

Sementara di kelompok yang berseberangan, sebenarnya juga sadar bahwa wacana itu nyaris mustahil terwujud. Tapi, bagi mereka, ini merupakan peluang emas untuk ikut bermain. Maka, wacana itu kemudian mereka tangkap sebagai mainan baru, dan dikapitalisasi menjadi bola liar untuk menyerang lawan-lawan politik. Dalam sekejap, dua kubu saling berhadapan secara diametral, saling lempar wacana dan perang opini tanpa menyentuh substansi. Itulah yang membuat suhu politik mendidih akhir-akhir ini.

***

Di tengah suhu politik yang mendidih itulah banyak orang ikut terbakar. Terbakar ambisi, terbakar rasa benci. Ambisi dan kebencian itulah yang kemudian membonceng dan memanasi demonstrasi mahasiswa, hingga muncul penganiayaan dan penelanjangan Ade Armando, hingga terbentang spanduk-spanduk cabul yang tak hanya menodai demokrasi, tapu juga bulan suci.

Jika semua mau berpikir jernih, sesungguhnya tersedia jalan kembali: konstitusi. Tak ada jalan di luar konstitusi. Sepanjang semua taat pada konstitusi, tak ada yang perlu dikhawatirkan; tak ada jabatan presiden untuk tiga periode, tak ada perpanjangan masa jabatan presiden, tak ada penundaan pemilu.

Memang konstitusi bukan kitab suci dan tak akan pernah sempurna, dan karena itu sangat mungkin untuk diamandemen. Tapi siapa hari ini yang berani mengamandemen konstitusi kita, ketika hari-hari kita dipanasi oleh rasa benci, ketika kita tak lagi saling percaya, ketika kita masih saling curiga, ketika masing-masing masih mendesakkan ambisi dan kebenarannya sendiri. Di tengah situasi seperti ini, mengamandemen konstitusi sama artinya dengan membuka kotak pandora, lalu semua akan binasa oleh ular berbisa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan