Di dunia pesantren popular istilah takzir atau takziran, yang bisa membuat santri merinding saat mendengarnya. Sebab, tak lain tak bukan itu adalah sebentuk hukuman bagi setiap santri yang melakukan pelanggaran. Tapi, di mata santri, takzir itu, hukuman itu, bisa menjadi sebuah berkah sebagai bagian dari proses pembelajaran hidup.
Takzir berasal dari Bahasa Arab, az-zara”, yang berarti menolak, mencegah, atau mendidik. Di lingkungan pesantren, hukuman bagi setiap pelanggar terhadap peraturan atau tata tertib disebut takzir atau takziran. Takzir diberlakukan untuk memaksa seorang santri tertib dan patuh dengan segala peraturan pondok pesantren demi kebaikan diri santri sendiri.
Bagi sebagian orang, hukuman yang berlaku di dunia pesantren terbilang sangatlah keras, dan terkadang disangkutpautkan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Jika kita melihat ke zaman dahulu, pesantren-pesantren tempo, demikian adanya. Hukuman terhadap santri yang melanggar memang sangat keras. Tapi zaman berubah, hukuman yang diberlakukan di pesantren saat ini tidaklah seberapa dibandingkan yang dialami santri di masa lalu.
Sekarang, misalnya, jika mendengar ada seorang santri disuruh mengambil air di sungai atau sumur yang jaraknya cukup jauh dari rumah sang kiai, mengurus ternak, membuat kandang ternak, dan lain-lain sebagainya, kita mungkin akan berasumsi bahwa santri tersebut sedang mejalani hukuman. Di zaman dahulu, hal-hal demikian adalah sesuatu yang wajar dilakukan dengan sukarela oleh para santri sebagai suatu kegiatan yang menyenangkan.
Begitu pula pukulan dan cambukan sebagai salah satu bentuk takzir atau hukuman bagi santri yang melanggar peraturan. Pada zaman itu, bentuk hukuman seperti itu dianggap wajar, dan mendapat dukungan dari wali santri.
Jika kita bertanya kepada ustadz, kiai, dan orang tua yang pernah merasakan bangku pesantren tentang hal ini, kurang lebih mereka akan tertawa dan berkata, “Itu semua adalah berkah, jika bukan karena itu, saya tidak akan mungkin menjadi (baik) seperti ini.” Dan hal ini dapat mereka jadikan candaan ketika bertemu kembali dengan teman atau kiai mereka.
Ketika zaman berubah, di mana masalah HAM menjadi isu yang seksi seperti sekarang ini, bentuk takziran atau hukuman yang dapat menyebabkan cedera fisik seperti itu mulai disoal. Sebagai contoh adalah peristiwa yang terjadi pada 2014. Saat itu dunia pendidikan dihebohkan dengan sebuah video hukuman cambuk yang diberlakukan di sebuah pesantren. Meski dengan alasan bahwa santri yang bersangkutan dihukum karena suatu pelanggaran besar, seperti minum minuman keras dan berzina, hal ini tetap mendapat kecaman dari para pegiat dan pemerhati HAM. Sampai-sampai, Menteri Agama ketika itu, Lukman Hakim Saifuddin, mengimbau kepada pengurus pesantren agar tidak lagi memberlakukan hukuman yang dapat menyebabkan cedera fisik karena tidak baik dalam pandangan konteks pendidikan saat ini.
Jadi, sekarang ini, takzir yang diberlakukan di pesantren hanya hukuman yang tergolong ringan seperti pembotakan, lari mengelilingi lapangan, dan lain sebagainya yang tidak berpotensi mencederai fisik. Namun diharapkan tetap memberikan efek jera kepada santri. Begitulah ketika zaman telah berubah.