Sambil sedikit berlari, Sudir menuju musala. Ia sendirian. Melepas sandalnya lalu mengikuti jamaah salat Isya. Setelah salam, ia menyodorkan tangan kanannya pada orang di sebelah kanannya, lalu kirinya. Dan kedua orang yang ia ajak bersalaman itu pula mengulurkan tangan, tapi diam dan datar, tak berekspresi.
Sebentar kemudian, ia melaksanakan salat tarawih bersama para jemaah itu. Tapi, ada yang mengganjal pada batin Sudir, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari para jemaah itu. Keanehan lain, semua jemaah mengenakan jubah putih, berpeci putih. Tetapi, mata Sudir berjibaku pada imam salat. Sebab, hanya dia seorang yang mengenakan jubah berwarna hijau, bersorban warna-warni, dan ber-imamah hijau melingkar di kepala. Balutan kain hijau itu terlihat sangat rapi, ada bagian kain sedikit yang dibiarkan menjuntai di belakang. Selalu, mata Sudir tertuju pada seorang itu selama tarawih. Ia heran, menyisakan kejanggalan dalam batinnya. Semakin lama, semakin heran.

“Assalamualaikum warahmatullah… Assalamualaikum warahmatullah…,” Imam itu menolehkan wajahnya ke kanan dan kiri. Sontak dengan sangat kompak para jemaah itu mengikutinya.
***
Seperti dua puluh malam sebelumnya, teman-teman Sudir sudah berkumpul di pos ronda malam itu. Ahsan, Hasan, Muhsin, dan lain-lain, telah membawa Fathul Muin untuk mereka diskusikan. Mereka semua adalah alumni dari beberapa pesantren. Ahsan alumni Pesantren Nur Muhammad, Hasan alumni Pesantren Subulunnajah, Muhsin alumni Pesantren Riyadhoh al-Badi’ah, sedangkan peserta yang lain adalah para remaja desa Kauman yang ingin belajar kitab kuning.
Saat itu pukul 21.00 WIB. Jam segitu, biasanya Sudir sudah di sana membawa beberapa cemilan. Ia memang contoh pemuda yang baik. Tetapi tidak dengan malam ini. Hal itu membuat mereka yang berkumpul di sana bertanya-tanya.
“Sudir mana, San?” celetuk Ahsan pada Hasan. Peci hitamnya miring ke kanan. Itu adalah ciri khasnya sejak ia pulang dari Pesantren Nur Muhammad.
“Di mana, Nir?” Hasan melempar pertanyaan itu pada Munir yang sudah duduk bersama beberapa remaja lainnya di pos ronda. Mengapa Munir? Sebab Munir adalah tetangga Sudir, rumahnya persis bersebelahan dengan rumah Sudir.