Hadits adalah sumber literatur pokok yang kedua bagi umat Islam setelah al-Quran. Kedudukan hadits inilah yang membuat status kebenarannya harus dipastikan. Bila tak selaras dengan al- Quran yang sudah terjamin keabsahannya, misalnya, suatu hadits harus dikaji terlebih dahulu dan ditentukan status klasifikasi kebenarannya. Yakni, shahih, hasan, atau dloif.
Dalam perjalanannya, para ulama telah memeras pikirannya dalam pembahasan ulumul hadits, khususnya mengenai aspek kesahihan. Ulama kalangan al-mutaqaddimun, yakni ulama yang hidup di rentang waktu awal hingga abad ke-3 H, tidak secara spesifik mengemukakan poin-poin dalam menilai keabsahan sanad (jalur riwayat berita) hadits. Mereka pada umumnya mengemukakan berupa penjelasan naratif tentang bagaimana suatu riwayat dapat dipegang.
Menurut Muhammad Syakir (w. 1958 M), Imam Syafi’i (w. 204 H) dianggap sebagai ulama yang mula-mula menerangkan secara jelas kaidah kesahihan hadits pada karya fenomenalnya, ar Risalah. Namun, penjelasan Imam Syafi’i hanya menekankan aspek metodologis dari sanad, serta tidak membahas terlalu dalam mengenai kemungkinan riwayat yang cacat (illat) dan janggal (syadz).
Selanjutnya, Imam Bukhari (w. 256 H) serta Imam Muslim (w. 261 H) juga tidak spesifik menyebut kriteria sahih dalam karya-karyanya. Namun, liputan hadits yang mereka rekam dalam kitabnya, memberikan sumbangsih yang signifikan. Menurut al-Aini (w. 855 H) dalam Umdat al Qariy, keduanya menilai bahwa hadits shahih haruslah berada dalam kesezamanan (al muassarah) yang sama antara seorang rawi (orang yang meriwayatkan hadits) dengan rawi sebelumnya. Akan tetapi, keduanya juga berbeda pendapat mengenai pertemuan rawi. Imam Bukhari mengharuskan adanya pertemuan antar-rawi, sedangkan Imam Muslim tidak mengharuskan.
Pungkasnya, para ulama al-muta’akhirin (generasi setelah abad ke-3 H) berhasil memberikan definisi tegas terhadap kriteria sanad hadits yang shahih. Ibn Shalah (w. 643 H) dalam ‘Ulum al Hadits memberikan pengerian terhadap hadits shahih. Kemudian dinarasikan ulang dan lebih singkat oleh Imam an Nawawi (w. 676 H) dalam bukunya al Taqrib li an Nawawi Fann Usul al Hadits. Definisi tersebut berbunyi,