Salah satu peninggalan dari sastra pesantren di masa lalu adalah nazam dan syiir. Seperti halnya tembang dalam macapat pada tradisi Keraton Islam, nazam dan syiir harus dilagukan. Kemudian, karena di pesantren terdapat tradisi selawat, diba, dan manaqib, maka nazam menjadi penghubung antara tradisi Islam dengan unsur lokal. Di kemudian hari, tradisi selawat, diba, serta manaqib yang merupakan bahasa Arab selalu diselingi dengan nazam bahasa lokal.
Di era modern, saat pemerintah kolonial membakukan aksara latin dan bahasa Indonesia, sastra kemudian beralih bentuk menjadi lebih pada pada tradisi teks (literature) sebagaimana di negeri Eropa. Bentuknya bisa berupa novel, cerita pendek, hingga puisi. Yang menjadi perbedaan dari keduanya adalah sastra teks (modern) tidak mengharuskan untuk dibacakan secara lisan atau dilagukan sebagaimana nazam.

Terlepas dari itu, sebagaimana pengertian teori sastra dalam tradisi ilmiah, sastra pada dasarnya merupakan aktivitas permenungan atau pengamatan, yang kemudian menggunakan medium bahasa sebagai metafor atau jalan cerita.
Sastra, selain menjadi penanda adanya suatu kebudayaan, menempati posisi penting dalam sebuah masyarakat. Masyarakat di zaman para nabi, terlebih dalam agama Abrahamik, menempatkan orang yang mampu bersastra dan bersyair pada kedudukan dan kehormatan tertentu.
Begitu pun dengan aktivitas-aktivitas filsafat di zaman Yunani kuno, tidak bisa dilepaskan dari nilai kesusastraan yang melingkupi masyarakatnya. Perenungan-perenungan dalam sastra, selain mampu dibaca sebagai representasi perkembangan suatu kebudayaan, dalam beberapa hal, juga dianggap memiliki misi profetik mesias dan sublimasi ilahiah. Dengannya, ajaran para filsuf dan kitab suci agama-agama banyak mengandung nilai sastra.
Sebelum adanya mesin cetak, yang beriringan dengan laju semangat kapital dan turut mengantarkan bentuk negara bangsa, di Nusantara teks-teks sastra tertulis dalam sebuah manuskrip berupa lontar dan babad. Isinya terdapat serat-serat yang sangat kaya dan melimpah. Pada masyarakat yang berkembang dalam kebudayaan lisan, teks-teks serat menekankan pada ‘bunyi’ suara di samping aksara, sebagiannya ada yang harus ditembangkan, bahkan dibantu oleh dendang musik.