Dulu, era 1960-an 1970-an, kawasan Malioboro Yogyakarta pernah “dikuasai” para penyair jalanan. Dan “kepala sukunya” tak lain adalah Umbu. Umbu Wulang Landu Paranggi, yang kemudian dinobatkan sebagai “Presiden Malioboro”.
Kita tahu, Umbu bukan hanya penyair besar yang dimiliki Indonesia. Umbu, juga, adalah maha guru bagi begitu banyak penyair dan orang-orang yang mencintai puisi dari berbagai generasi. Mulai dari generasi 1960-an dan 1970-an sampai generasi milenial.
Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun dan Eko Tunas adalah sedikit dari sastrawan besar yang memperoleh sentuhan tangan Umbu di masa itu. Di masa itu, dari jalanan Malioboro itu juga lahir penyanyi balada legendaris Ebiet G Ade dan penyair Taufiq Ismail. Belakangan, ketika sudah tinggal di Bali, Umbu juga menjadi virus puisi di Pulau Dewata itu.
Nyaris tak ada penyair yang tak memiliki garis “genealogis puisi” dengan Umbu. Kini, setiap penyair memiliki banyak cerita tentang “genealogis puisi” itu ketika sang empu perpuisian itu telah pergi Selasa (5/4/2021). Banyak penyair besar dan orang-orang yang mencintai puisi dari beragam latar belakang yang memiliki “persentuhan” khusus dengan Umbu.
Saya, yang bukan siapa-siapa di dunia perpuisian, termasuk salah seorang yang sangat beruntung pernah bertemu dengan Umbu meskipun hanya dalam sekejap waktu. Tapi pertemuan itu masih tersimpan rapi dalam memori, kadang saya mengenangnya sambil senyum-senyum sendiri.
Sebagai wartawan yang pernah tinggal di Bali lebih dari sepuluh tahun, tentu sebagian dari lingkungan pertemenan saya adalah orang-orang yang telah lama mengenal Umbu, dan banyak bercerita tentang dirinya. Satu di antara kawan saya adalah Ketut Syahruwardi Abbas, orang Bali Pegayaman dan pekerja seni. Diam-diam dia tahu saya sering juga menulis puisi untuk dibaca-baca sendiri. Diam-diam dia suka membaca-baca puisi saya.
Suatu hari, mungkin tahun 2003 atau 2004, Ketut Syahruwardi Abbas mengajak saya bertemu Umbu. Konon, tidak gampang, atau sebenarnya gampang-gampang susah, orang bisa bertemu Umbu. Sebab, Umbu selalu menyimpan sendiri misterinya. Tapi Ketut Syahruwardi Abbas tak kurang akal. Sabtu malam, atau malam Minggu, saya diajak ke kantor redaksi Bali Post. Menunggu Umbu.