Allahu akbar…Allahu akbar…Allahu akbar…
La ilaha illa Allahu Allah akbar…
Allahu akbar wa lillahilham…
Sayup-sayup terdengar takbir bersahutan dari kejauhan, tepatnya dari arah masjid jami desa kami dengan tetangga desa. Usai salat Idul Adha pagi ini, aku nyekar ke makam pendahulu kami, ibu, bapak, kakek, juga mbah putri yang tempatnya sedikit berjauhan dari tengah desa. Pemakaman di desa sangat ramai di hari tertentu, khususnya sore menjelang malam takbiran tiba atau pagi hari setelah salat id, baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
Kali ini aku sengaja duduk lebih lama dari biasanya. Menggelar selembar koran di samping makam yang kusiapkan dari rumah. Sekeranjang kembang sudah sejak kemarin sore kubeli dari pedagang kembang kuburan di pasar desa. Para pedagang kembang sengaja menyediakan kembang untuk para peziarah setiap menjelang hari-hari tertentu tiba. Kubuka buku yasin dan tahlil yang hanya seukuran telapak tangan itu lalu kubaca pelan-pelan.
Angin kencang terasa menerpa wajahku dan para peziarah lainnya pagi ini. Sejak memasuki bulan Juli udara terasa sangat dingin menusuk tulang meskipun matahari terlihat menyengat sekali sinarnya. Aku teringat cerita bapak, katanya ini disebut musim bediding. Musim di mana udara terasa sangat dingin sepanjang hari. Dingin di tempatku dengan dingin di daerah pegunungan aku rasa berbeda. Sebab di tempatku adalah saerah pesisir, bukan pegunungan, kurasa angin lautlah yang lebih bertanggung jawab untuk suara-suara perut kembung dan sendawa berlebihan jika ada pendatang ke tempat kami.
Hampir pukul tujuh pagi. Aku menyelesaikan bacaan yasin dan tahlilku. Usai menaburkan kembang di empat makam berjajar di depanku, aku melipat alas duduk dan mencabut beberapa rumput yang kemungkinan bisa tumbuh subur di atas makam. Sengaja pula kuambil beberapa ranting bunga kamboja yang bunganya terlihat mekar di atas makam, letaknya beberapa meter dari makam bapak. Kutancapkan ranting itu di atas setiap makam leluhurku Semoga beberapa bulan lagi ia bisa hidup subur di atasnya agar rimbun.
Assalamualaikum ya ahla diyaar…
Datang dan pulang dari makam ucapkanlah salam. Begitu dahulu bapak pernah mengajarkan. Sebab mereka sebenarnya ada dan menghuni rumah mereka masing-masing, sayangnya kita tidak bisa melihatnya. Kalau tidak ada, mana mungkin Rasulullah mengajarkannya dengan dhomir kum yang berarti mukhatab, maknanya sedang berbicara langsung dengan lawan bicaranya. Seperti hari ini, semoga bapak, ibu, kakek, juga mbah putri sedang mendengarkan ucapan salamku untuk berpamitan pulang ke rumah.
Dari luar pintu pemakaman kulihat seorang kakek tua mengenakan sarung dengan kopiyah miring di kepalanya sedang berjalan terhuyung memegang tali yang diikatkan ke leher kambing piaraannya. Kurasa dia dari arah selatan alias dari seberang makam berjalan menuju arah desa. Aku urung menaiki sepedaku, tetapi kemudian menuntunnya agar bisa berjalan beriringan dengan kakek itu.
“Sugeng enjang mbah, kambingnya mau dibawa ke masjid njeh?”
“Enjang mas, sudah pantes diqurbankan belum?”
“Wah, njeh sampun mbah,” aku sedikit heran dengan pertanyaannya. Sebab kulihat kambingnya sangat putih bersih, gemuk dan cantik, terlihat sangat terawat sekali. Si kambing tampak lincah dan gembira berjalan membelakangi kami, sepertinya dia tidak tahu kalau sebentar lagi akan meregang nyawa, batinku.
“Alhamdulillah mas, akhirnya saya bisa punya kendaraan.” Aku tersenyum mendengarnya.
“Saya sudah lama menantikan ini. Sejak hidup sendiri bertahun-tahun lamanya. Keinginan saya cuma ini, bisa qurban wedus meskipun satu kali seumur hidup. Soalnya kalau sapi saya tak mampu.”
“Alhamdulillah mbah…,” sekali lagi aku hanya sedikit menyahuti ucapannya. Sebab kurasa kali ini aku akan mendapatkan banyak petuah dengan hanya berjalan di sampingnya. Beliau tidak membutuhkan kata-kataku.
Sesampainya di masjid ia menyerahkan kambingnya dan kudengar panitia menanyakan namanya untuk pendataan shahibul qurban tahun ini.
“Kasturi nak. Jenengku Kasturi,” si kakek terlihat sumringah memamerkan senyumnya dengan gigi yang tentu saja sudah banyak yang ompong.
Aku terus tertarik mengamatinya dari jauh. Tidak biasanya aku menunggui hewan-hewan disembelih dan berada di antara kerumunan anak-anak kecil yang bergembira sebab sebentar lagi bisa nyate bersama setiap satu tahun sekali seperti sekarang. Biasanya aku selalu di rumah saja usai salat Id meskipun tidak sedang musim Covid-19 seperti sekarang.
Ketika giliran kambing si kakek mulai dihadapkan kiblat, aku memperhatikan matanya berbinar memperlihatkan antara raut senang dan sedih bersamaan. Mulutnya terlihat komat-kamit sambil sesekali ditutupi oleh tangannya yang sudah keriput. Setelah kambingnya benar-benar mati, ia mengusap wajahnya dan mengucap hamdalah berkali- kali. Aku yang dari tadi dengan tenang memperhatikannya sebenarnya pikiran dan hatiku justru tidak tenang sama sekali. Sibuk. Sibuk mengingat petuahnya.
“Mumpung masih muda, giatlah bekerja biar bisa nyembelih sapi untuk kendaraan diri sendiri, keluarga juga untuk kendaraan bapak ibumu di akhirat. Sebisa mungkin sisihkan penghasilan untuk ditabung membeli hewan qurban. Tabungan akhirat itu sangat penting, dunia ini cuma sementara, jangan hanya memikirkan beli motor atau mobil bagus tapi tak pernah qurban sama sekali di dunia. Jangan sampai di dunia punya motor atau mobil bagus tapi di akhirat jalan kaki. Jangan sampai nak…,” nasihatnya panjang lebar sepanjang jalan tadi sebelum kami sampai di halaman masjid, tempat penyembelihan hewan qurban.
Bayangan bapak tiga tahun berturut-turut menyembelih dua ekor kambing sebelum meninggalkan kami, anak anaknya, seketika terlintas di pikiranku. Nasihatnya sama persis.