Tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah dimulai. Memang baru tahap pendaftaran calon anggota legislatif untuk DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sementara itu, tahap pendaftaran calon presiden-wakil presiden baru pada Oktober 2023. Namun, suhu politik Tanah Air sudah mulai memanas.
Panasnya suhu politik sudah dimulai ketika partai-partai politik memunculkan nama-nama yang akan diusung sebagai calon presiden. Diprediksi, atau dikhawatirkan, Pemilu Presiden 2024 akan berlangsung sangat panas, bahkan brutal, karena “ketularan” Pilkada DKI Jakarta 2017. Akankah demikian?
Yang pasti, apa pun yang nanti terjadi, pemilu dan peralihan kekuasaan adalah keniscayaan dalam sebuah negara demokrasi. Tanpa itu tak ada demokrasi. Namun, persoalannya, di negara-negara berkembang atau yang tradisi demokrasinya belum benar-benar kokoh, mengakar kuat, pemilu dan peralihan kekuasaan selalu menjadi pertaruhan. Pertaruhan masa depan demokrasi itu sendiri.
Sebab, yang ikut bertarung dalam berebut kekuasaan melalui sistem demokrasi tidak melulu mereka yang mencintai dan yakin bahwa demokrasi adalah sistem yang paling baik atau paling cocok. Meraka yang antidemoikrasi, yang ingin mengubah sistem demokrasi ke sistem lain, pun turut bermain dan memannfaatkan demokrasi untuk tujuan-tujuan yang berbeda. Pengusung khilafah, misalnya, mengusung sistem yang diperjuangkan melalui jalan yang justru dibencinya atau dianggapnya haram. Artinya, bisa jadi kekuasaan yang diperoleh melalui jalan demokrasi nantinya justru akan digunakan untuk membunuh atau membusukkan demokrasi.
Itulah fakta yang ditunjukkan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku How Democracies Die (Bagaimana Demokrasi Mati). Buku itu menyajikan hasil riset di banyak negara dari berbagai benua yang sistem demokrasinya dibusukkan atau dibunuh justru dengan kekuasaan yang diperoleh melalui jalan demokrasi. Persoalannya, kita belum memiliki sistem deteksi dini (early warning) untuk mengetahui siapa tokoh antidemoikrasi yang turut menari dalam gendang demokrasi.
Beruntung, dari penelitiannya itu Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mampu merumuskan indikator-indikator kunci yang bisa dijadikan alat ukur. Asumsinya, jika ada seorang tokoh menyandang indikator-indikator kunci tersebut, maka ia memiliki potensi untuk berlaku dan bersikap antidemokrasi, melakukan pembusukan demokrasi, atau bahkan membunuh demokrasi meskipun kekuasaan yang digenggamnya diperoleh melalui jalan demokrasi. Pesannya: ia tokoh yang tak layak dipilih untuk menjadi pemimpin.