“Najis! Najis mughaladhah kalau aku sampai jadi RT,” omelan Rokim kepada aparat desa yang datang membujuknya, agar mau menjadi Ketua RT.
“Segitunya, Kim! Jabatan sosial Ketua RT itu terhormat lo. Gelar RT layak disandingkan dengan mulianya kiai atau gelar dokter,” Pak Amin meredakan emosi Rokim.
Pak Sis, aparat desa lainnya menambahkan, “Kalau kamu jadi RT, kamu akan jadi garda terdepan. Penyambung masyarakat bawah dengan pemerintah. Bergengsi bukan?”
“Cih.. Tak sudi aku. Menjadi RT harus siap konsekuensinya. Ujung tombak sekaligus ujung tombok. Kalau ada kegiatan desa, sudah pasti tekor aku..” Rokim menolak.
“Ya paling tidak kamu akan dapat gelar ‘Yang Terhormat Pak RT’. Karena masyarakat memandang jabatan RT itu sakral, Kim,” kembali Pak Amin membujuk.
Pak Sis mengiyakan, “Bener itu. Ingat almarhum Pak Kamto? Sudah meninggal saja, orang-orang menyebutnya ‘kuburan RT Kamto’. Kalau ada acara, pasti kamu akan dipanggil ‘Yang Terhormat’. Orang-orang awam takut kualat kalau tidak menambahkan kata yang terhormat di depan namamu.”
Rokim tetap bersikukuh, “Kehormatan itu pararel. Ada tiga, harta, wanita, dan takhta. Mana ada kata RT di situ?”
Pak Sis dan Pak Amin tersenyum kecut. “Tenang saja, Kim. Untuk tahun ini ada gaji dan tunjangannya buat Ketua RT,” Pak Amin berusaha beralih strategi.
Rokim tetap mendebatnya. “Halah! Berapa? Aturan tidak sesuai fakta. RT ada gaji, tapi kecil. Tunjangannya, hanya hari raya, itu pun bingkisan lebaran, sarung, dan biskuit murahan. Tidak sudi aku!”
Sebagai tokoh agama, Pak Ahmad turut bicara. “RT itu ibadah siyasah, Pak Rokim. Menjadi RT berarti menjadi amirul mukminin. InsyaAllah, berpahala.”
“Kalau saya menerima, istri saya bisa marah bahkan bisa menceraikan saya. Pak Ahmad nanti yang saya salahkan,” Rokim mempertegas penolakannya.
“Loh, kok saya yang salah, Pak?” tanya Pak Ahmad heran.
“Pak Ahmad kan dai kampung, tukang ceramah di jamaah, kalau saja Pak Ahmad saat ceramah di majelis taklim, terutama pengajian ibu-ibu, tentang keutamaan dan pahala menjadi RT, pasti ibu-ibu bisa memahami dan mengizinkan suaminya jadi RT.”
Pak Ahmad menyadari kekhilafannya. “Betul kamu, Pak Kim. Tapi, saya, Pak Sis, dan Pak Amin memandang hanya Pak Rokim yang layak menjadi RT di sini.”
Pak Sis yang tidak sabaran mengulangi tawarannya, “Jadi, kamu mau apa tidak?”
“Tidak! Sekali lagi tidak! Tidak akan mau dan tidak akan pernah!” jawab Pak Rokim dengan lantang.
“Baiklah kalau begitu, kami bertiga pamit.” Pak Amin beserta dua kawannya segera undur diri.
Begitu susahnya mencari Ketua RT di dusun ini. Mungkin, hanya jabatan RT saja yang jadi rebutan. Rebutan menolak. Di kota, jabatan RT mirip dengan Pilkada, karena memang berwibawa dan “berdana””. Lain halnya, jika di desa. Jabatan RT menjadi teken kontrak seumur hidup. Tak akan terganti dan diganti, sampai benar-benar sakit berat atau wafat. Kesediaan dan kerealaan menjadi syarat utama menjadi Ketua RT. Pilihan bukan didasarkan karena pendidikan, tapi berdasarkan kepantasan menurut takaran banyak orang. Jika ada Ketua RT terpilih, maka siap-siap menjadi bahan gunjingan.
“RT kok pendidikannya rendah, SD saja tidak tamat.”
“RT-nya sendiri itu loh menyumbang berapa, kok hanya rakyatnya saja yang dimintai sumbangan.”
“RT kok nggak pernah jamaah di masjid, RT macam apa itu? Seharusnya jadi panutan umat.”
“RT memang ikut kerja bakti, tapi mbok ya ngasih konsumsi kek, rokok kek, sego pecel kek, atau apalah….”
Dan banyak gunjingan lainnya.
Akan tetapi, jika dibalikkan: “Baiklah, pemilihan berikutnya, Anda saja yang menjadi ketua RT,” maka sudah dipastikan kata penolakan keras dan beribu argumen tak jelas, akan muncul dengan culas.
Begitulah kira-kira. Dusun ini sudah tiga bulan tidak mempunyai Keua RT. Semenjak Pak Suroto terkena stroke. Segala pengadministrasian desa menjadi terganjal karena keganjilan struktur perangkat desa yang tidak lengkap.
Melihat situasi semakin rumit, Pak Lurah mengadakan rapat dengan warga desa. Pak Lurah tidak ingin mengadakan pemilihan tapi penunjukan Ketua RT secara langsung.
“Baiklah, langsung saja, berdasarkan pertimbangan dan hasil diskusi dengan tokoh agama dan masyarakat, terutama warga dusun RT 13, yang menyerahkan keputusan kepada saya, maka dengan ini saya memutuskan …” Hadirin tampak berdebar mendengarkan siapa yang nanti akan ditunjuk Pak Lurah Sumarno untuk dijadikan Ketua RT 13.
“Yang menjadi Ketua RT 13 berikutnya, untuk periode lima tahun adalah… Bapak Cipto! Silakan kepada Bapak Cipto untuk memberikan sambutan.”
Hadirin bersorak. Gembira bukan hanya karena sudah ada pengganti Ketua RT, tapi karena tidak ditunjuk menjadi Ketua RT. Kalau sampai ditunjuk, wah, bisa jadi “RT beneran”. Rugi Terus, Ribet bin Tekor, Ruwet lan Torok (tekor/rugi)— beberapa akronim tentang RT.
Menjadi RT, benar dipandang sebagian masyarakat, tapi sebagian kecil saja, sebagian besar ngrasani di belakang. Jadi RT memang terhormat, tapi kehormatannya tidak sebanding dengan harga dan penghargaannya. Menjadi RT harus telaten, mengayomi warga dusunnya, menjaga kerukunan antartetangga, jika salah ucap dan tindak sedikit saja, maka norma dusun akan “berbicara”.
Pak Cipto yang mendengar namanya dipanggil Pak Lurah terkejut. Dia tidak menyangka dirinya akan ditunjuk menjadi Ketua RT. Ia hanya petani biasa, lahan dan kebun tidak ada setengah hektare. Pendidikan tamatan SD, baca Quran saja masih mengeja, alif, ba, ta. Karena itu seringkali kalau yasinan dan tahlilan ia mencari buku Yasin yang ada tulisan arab-latinnya.
Melihat gelagat Pak Cipto yang bimbang, duduk-bediri, duduk lagi, kemudian berdiri, Pak Lurah berinisiatif mendekati Pak Cipto, kemudian mengelus pundaknya. “Ayo, tidak apa-apa Pak. Silakan berdiri dan berikan sambutan,” pinta Pak Lurah.
“Tapi, ehhmmm tapi, Pak…,” Pak Cipto ragu.
“Sudah tidak apa-apa. Mari kita buktikan, bahwa pendidikan tinggi dan kaya materi tidak menjamin terpilih menjadi Ketua RT,” Pak Lurah memberi motivasi.
Demi mendengar hal tersebut, Pak Cipto mantap, melangkah maju memberikan sambutan, sekitar dua menit saja. Puji syukur, shalawat nabi, ucapan terima kasih, mohon maaf, dan sekian.
RT 13 kini sudah memiliki ketua baru. Pak Cipto menjalankan tugasnya dengan baik. Ketika ada warga meminta dibuatkan surat pengantar surat tidak mampu, ia buatkan. Ada warga meminta dibuatkan surat pengantar membuat KTP, ia layani dengan baik. Pak Cipto tidak buta huruf, namun perlu beberapa lama membaca dengan mengeja, dan menulis dengan terbata-bata, maklumlah hanya tamatan SD yang juga pengalaman hidupnya jarang bersentuhan dengan alfabet, kecuali nominal uang. Pak Cipto pandai sekali berhitung soal rupiah.
Jika ada undangan rapat, maka ia cukup membaca hari dan tanggal serta jamnya saja, yang lain tidak. Begitu juga, ketika ada warga yang diberi formulir surat pengantar, cukup ia perintahkan “Lengkapi isinya! Jangan ada yang terlewat!” kemudian setelah diisi, dilihantya formulir itu seolah meneliti, kemudian mengangguk seakan mengerti lengkap atau tidak. Barulah ia menandatangani. Pak Cipto merasa penting, baru kali ini tanda tangannya berharga. Tanda tangan orang penting, begitu pikirnya.
Pak Cipto semakin terkenal di dusunya. Ia cakap, amanah, dan berdedikasi. Kepercayaan diri Pak Cipto meningkat. Jika ada rapat di desa ia berusaha mengacungkan tangan dengan mendahului kata “interupsi!” yang ia sering dengar di layar TV. Popularitas Pak Cipto semakin meningkat, tidak hanya di dusun, tetapi sedesa mengenalnya.
Penampilannya semakin necis dan klimis. Sering berdandan rapi, berpeci hitam, bersepatu vantopel, rambut yang disisir rapi dan berminyak. Jam tangan selalu ia kenakan, entah itu mati atau tidak. Pulpen selalu terselip di saku kiri bajunya. Sering pergi ke kantor kelurahan, selalu terlihat berbicara serius dengan beberapa staf desa. Apalagi ketika ada kegiatan desa, nama Pak Cipto selalu disebut MC, “Kepada yang terhormat Pak Cipto, dipersilakan untuk memberikan sambutan…” tersenyum bangga ia ditunjuk, sambil melihat kanan-kiri hadirin yang lain.
Jika berpapasan dengan tetangga, “Ke mana Pak Cip?” dengan mantap Pak Cipto menjawab, “Ada proyek!”, “Ada program!” ,“Ada rapat!” “Ada urusan!”, “Ada bisnis!” semacam orang penting yang paling penting dan orang-orang harus mengetahui bahwa ke mana pun Pak Cipto pergi, memang ada urusan penting yang harus diselesaikan. Dan urusan itu tidak akan bisa terselesaikan kalau Pak Cipto selaku Ketua RT tidak menanganinya sendiri.
Bakda manghrib, terlihat kerumunan orang di depan rumah Pak Cipto. Rupanya warga dusun ngluruk untuk meminta penjelasan kepada RT-nya.
“Pak Cipto, saya warga kurang mampu, mengajukan KIP untuk mendapatkan bantuan anak sekolah, saya sudah ngisi formulir, kenapa saya tidak dapat kartu itu?” tanya salah satu warga.
Pak Cipto menjadi bingung.
“Program Keluarga Harapan, juga salah sasaran. Rumah Pak Rokim yang mapan dapat pilox, rumah saya kok tidak distempel?” warga lain menuntut.
“Bantuan subsidi Corona, saya juga tidak dapat. Padahal usaha warung saya tutup. Tetangga lain kok dapa,” disusul warga lain.
Pak Cipto keluar keringat dingin. Bagaimana ia menjelaskan. Memang, dulu ada setumpuk formulir di kantor desa, tapi ia tahu semuanya sudah terisi, entah siapa yang mengisi. Pak Cipto ingin menanyakan kepada Pak Lurah, namun tak berani. Apalagi, setelah Pak Lurah tahu bahwa Pak Cipto memandangi tumpukan formulir itu dengan tanda tanya, sepulangnya Pak Cipto diberikan amplop yang berisi uang. “Terima saja Pak Cipto. Ini hadiah dari saya, karena Pak Cip manut dan nurut, serta jadi RT kesayangan saya,” begitu Pak Lurah menjelaskan.
Warga semakin ramai menuntut klarifikasi Pak Cipto. Sebelum terjadi “peradilan rakyat dusun”, Pak Lurah datang tepat waktu.
“Tenang… tenang… ada apa ini?” tanya Pak Lurah menenangkan warga.
Setelah dijelaskan perwakilan warga dusun, Pak Lurah memberikan klarifikasinya. “Saudara-saudara, perlu diketahui Pak Cipto ini dengan susah payah mendata warga yang kurang mampu, mengisi formulir sendiri, menyurvei tanpa diketahui, kemudian dilaporkan kepada saya. Baik itu KIP, PKH, subsidi pandemi, dan lain-lain. Sudah disetor semuanya. Tapi, ketika data yang turun dari pusat ternyata berbeda dari yang dikirimkan, ini bukan kesalahan Pak Cipto.”
Warga mengangguk mengerti, meski sebagian kecil masih ada yang kasak-kusuk.
“Sudah, ayo bubar! Pak Cipto menjadi teladan bagi RT-RT yang lain. Beliau rela digaji sedikit demi urusan warganya. Ayo, siapa yang yang mau menggantikan Pak Cipto menjadi RT, acungkan tangan! Segera saya pilih detik ini juga!” teriak Pak Lurah sambil membubarkan kerumunan warga.
Pak Cipto terselamatkan. Sudah dua kali Pak Lurah menyelamatkannya. Beralibi meski sering yang dialibikan tidak sesuai dengan kenyataannya. Pak Lurah undur diri, seraya memberikan amplop untuk Pak Cipto. “Ini ada tambahan Pak Cip, untuk program bantuan. Dulur-dulur saya semuanya dapat bantuan dan ini imbalannya, karena Pak Cip telah memasukkan nama-nama sanak sedulur saya.”
Pak Cipto mengangguk dan berterima kasih. Baginya Pak Lurah adalah Dewa Penyelamat, Dewa Penolong”, yang sering memberikan honor tanpa ia sangka, pokoknya teken dan “Kita dibayar untuk diam,” begitulah Pak Lurah memberikan wejangan.
ADD, Anggaran Dana Desa, di beberapa desa diinspeksi oleh pihak kecamatan berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan. Tibalah giliran desa Pak Cipto. Semua RT dan RW diundang ke kelurahan untuk diinspeksi dengan aparat desa lainnya, termasuk Pak Cipto.
Setelah diperiksa, perwakilan pemeriksa ADD berbicara, “Ada beberapa kejanggalan yang kami temukan, antara laporan dan fisiknya. Di antaranya perbaikan jalan cor jalan ke kuburan desa, pembangunan jembatan, dan renovasi irigasi. Siapa penanggung jawab dan ketuanya?”
Pak Lurah tampak bingung. Wajahnya terlihat cemas, raut mukanya menjadi pucat, dan keringat dingin tampak di pelipisnya. Pak Cipto melihat gelagat sang Dewa Penolongnya, dengan lugu dan polos Pak Cipto berpikir bahwa dewanya harus ia selamatkan. Ia harus membalas semua kebaikannya, apa pun risikonya. Utang jasa balas jasa, utang budi dibawa sampai mati.
“Kalau tidak sekarang, kapan aku membalas semua kebaikan Pak Lurah?” Pak Cipto polos berpikir dan tanpa ragu; ia dengan lugu mengacungkan tangannya.
“Saya ketuanya, Pak! Pak Lurah hanya menunjuk, saya yang mengatur semua proyek-proyek tadi.”
Pak Lurah terkejut. Ia melihat Pak Cipto yang tersenyum sambil melirik Pak Lurah. Pak Cipto dan Pak Lurah beradu pandang, kemudian sama-sama tersenyum. Pak Cipto gembira, senang sekali karena berhasil menyelamatkan dewa penolongnya, tanpa mengetahui nasib yang menimpa setelahnya.
Ia mengulang jawabannya tadi. “Saya ketuanya, Pak! Pak Lurah hanya menunjuk, saya yang mengatur semua proyek-proyek tadi!” seraya berdiri sambil membetulkan peci hitam dan pulpen di sakunya.
“Kepada yang terhormat Pak Cipto, silakan ikuti kami ke kantor,” perwakilan inspektor ADD meminta.
Mendengar kata “yang terhormat”, begitu bangganya Pak Cipto, disebut oleh bapak-bapak yang dilihatnya penting, sampai-sampai mau menyebutnya dengan sapaan “yang terhormat”.