Mentari mulai memanaskan suasana pasar. Ini saatnya Isti mendapatkan belanjaan murah. Dengan begitu, ia berharap bisa memberikan uang saku kepada Rizki. Di pasar, semakin naik tinggi matahari, harga sayuran biasanya semakin turun.
Dengan langkah malu Isti mendekati pedagang sayur yang belum laku dagangannya. “Jika boleh kangkung sama timunya tiga ribu,” Isti menawar.
““Ini lima ribu sudah murah sekali. Masa masih engkau tawar?” jawab pedagang sayur dengan ketus.
“Ini sudah agak layu, lagian pembeli sudah sepi. Masa cuma turun separo harga?”
Isti terus nyerocos menawar. Karena tak tahan dengan cerocosan Isti, pedagang sayur akhirnya menyerah.
***
Ketika langit telah memerah, saatnya Jayus mengandangkan angkut yang disopirinya. Usai itu, Jayus berjalan ke ruang bendahara PO Pelita. Wajah kecut terlukis saat ia mencoba menghitung setorannya. Kian hari, uang setoran Jayus semakin jauh dari yang diharapkan. Setelah yang setoran ditemina, si bendahara mengarahkan Jayus agar ke ruang direktur.
“Silakan duduk, Pak Jayus,” perintah direktur. “Sebelumnya aku minta maaf. Dengan menyesal aku tidak bisa memperpanjang kontrakmu sebagai sopir.”
“Ini, terimalah uang pesangon dari perusahaan. Regenenerasi merupakan hal biasa dalam perusahaan. Jadi mohon dimaklumi.” Wajah canggung mengiringi ucapan yang terlontar dari mulut sang direktur.
Dengan wajah murung, Jayus berjalan meninggalkan ruangan. Melihat sahabatnya dirundung murung, Sono pun menghampirinya.
“Yus,” panggil Sono. Jayus sengaja menghindar dengan membalik langkahnya.
“Ada apa Yus, wajahmu kamu tekuk begitu?”
“Aku mulai besok sudah tidak bekerja di sini,” jawab Jayus.
“Mengapa? Kamu mau….”
“Tidak. Aku dipecat,” tukas Jayus dengan kesal.
“Tenang, Bro. Aku dengar dari temanku, PO Mahkota sedang membuka lowongan sopir angkut. Jika berminat kamu mau bisa melamarnya ke sana. Walaupun gajinya tidak sebesar di sini,” kata Sono yang berusaha menghiburnya.