Dalam konteks Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, posisi Gus dan Ning memainkan peran ganda. Pertama, secara internal, ia memikul tuntutan keberlanjutan institusi pesantren. Kedua, secara eksternal, ia terlibat dalam dinamika sosial, ekonomi, politik dan budaya di luar pesantren. Singkatnya, ia memainkan peran intermediary yang menentukan apakah perubahan akan ditempatkan di luar atau di dalam pesantren.
Tulisan ini menjelajahi bagaimana Gus dan Ning terlibat dalam gerak perubahan yang ada di dalam dan di luar pesantren. Perubahan internal pesantren mencakup aspek-aspek seperti perubahan komposisi sosiologis santri, tantangan institusional, dan perubahan kurikulum sebab tuntutan yayasan ataupun pemerintah pusat. Sedangkan perubahan eksternal pesantren adalah dinamika-dinamika sosial seperti pertumbuhan pembangunan di kota tempat pesantren berada, perubahan lanskap tenaga kerja yang dihadapi komunitas pesantren, dan tidak terkecuali juga kemajuan teknologi informasi.
Komunitas pesantren menyebut anak kiai dengan panggilan Gus (laki-laki) atau Ning (perempuan). Dalam bahasa Jawa, kata ‘gus’ dan ‘ning’ mengandung nuansa penghormatan, dan praktik sosio-lingustiknya sedikit-banyak mereplikasi nuansa hubungan feodalistik antara kawula dan ndalem. Hal ini juga yang membuat pesantren sebagai subkultur diasosiasikan sebagai ‘kerajaan kecil’. Figur kiai memegang otoritas tertinggi dan terlingkupi kharisma suci, membuat individu yang berada di bawahnya menaruh hormat nyaris tanpa keraguan.
Sejak hubungan darah memiliki posisi spesial, khususnya melalui predikat sakral yang digariskan oleh sejumlah hadis Nabi dan pendapat ulama, Gus dan Ning menempati posisi sama tak terbantahkannya sebagaimana orang tua mereka di mata santri, pengurus pondok, dan masyarakat sekitar. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya kebarokahan yang dilekatkan pada mereka.
Akan tetapi, Gus dan Ning sebagai agensi sosiologis setidaknya dapat dimengerti dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah anak kiai yang terlahir dengan kepemilikan institusi pesantren. Dengan kata lain, terikat pada kelembagaan tertentu sebagaimana gambaran gus dan ning di atas. Kategori pertama ini terdiri dari gus dan ning yang berasal dari pesantren besar dan pesantren kecil.