Era kontemporer mendorong para pemikir untuk memberikan sumbangan ide kepada wacana keagamaan, perpolitikan, sosial, kebudayaan, dan lain-lain. Dalam tradisi intelektual, hal tersebut merupakan siklus normal dalam membentuk antitesa dari setiap tesis yang eksis. Daya intellectual curiousity ini menggiring manusia melakukan riset-riset ilmiah yang bersifat kontinu. Hal itu membentuk normal science baru di tengah-tengah masyarakat. Normalitas sains tersebut kemudian menjadi keadaan kultural dan landasan keilmuan bagi masyarakat universal (Faisal Ismail, Islam Dinamika Dialpgis, Keilmuan, dan Kebudayaan, 16).
Muhammad Arkoun, seorang tokoh Islam kontemporer turut berkontribusi dalam regulasi keilmuan, khususnya dalam ranah wacana Qur’aniyah. Meskipun terkenal dengan pendapat-pendapatnya yang kontroversial terkait Al-Qur’an, umat muslim tidak boleh menutup mata karena justru dialektika yang seperti ini dibutuhkan untuk menuntun umat ke pusara peradaban yang unggul.
Selayang Pandan tentang Arkoun
Muhammad Arkoun dilahirkan di desa Taourit-Mimoun Kayblia, wilayah persukuan di bagian timur Aljazair, pada 1 Februari 1928. Dari keluarganya, ia mampu menguasai tiga bahasa yaitu Berber, Prancis, dan Arab. Karier intelektualnya dimulai dimatangkan di Universitas Aljazair pada tahun 1950-1954 dengan menekuni bidang sastra Arab dan pemikiran Islam.
Selanjutnya, pada tahun 1961 ia mengajar Sejarah dan Filsafat Islam di Universitas Sorbonne. Di sana pula ia mengambil gelar Ph.D, tepatnya pada tahun 1969 dengan judul karya “Humanisme Arabe au IVe/ Xe sience: Miskawayh philospo et historian (Humanisme Pemikiran Etika Ibn Miskawaih).
Setelah itu ia tetap mengajar di beberapa universitas di berbagai negara seperti Arab, Eropa, Amerika Utara, dan Asia dengan mata kuliah Sejarah Pemikiran Islam (Nicolas J. Wolly, Perjumpaan di Serambi Islam: Suatu Studi Tentang Pandangan Para Teolog Muslim dan Kristen, 232).
Penjelajahan intelektual Arkoun melibatkan penjelajahan fisik, karena dia rela berkelana ke penjuru dunia untuk menyebarkan pemikirannya. Di Barat, ia menjadi penentang paham orientalisme yang pada saat itu sedang marak. Sedangkan di Timur-Tengah, ia merasa tidak cocok dengan paham fundamentalisme agama yang baginya malah menjadi alat untuk menurunkan martabat Agama Islam.