“Kiai Hijau” dan Ikhtiar Santri Merawat Bumi*

45 kali dibaca

Bumi —dan lingkungan hidup di dalamnya— menjadi isu utama yang diperbincangkan di belahan global. Bukan tanpa sebab, hal ini lantaran kondisi Bumi, sebagai tempat huni, kian hari makin memprihatinkan. Kerusakan-kerusakan terpampang di sepanjang hulu-hilir. Dan diprediksi terus berlanjut mengingat saat ini merupakan era globalisasi-kapitalisme.

Bron Taylor (2008) mengungkapkan bahwa, globalisasi-kapitalisme adalah dua hal yang saling terkait-hubung dan paling berpengaruh terhadap perubahan alam, “Globalization and capitalism focus on immediate profit for its own shake, leave no place for environmental consideration and impact on desacralization of nature.”

Advertisements

Kapitalisme telah mengubah pola pikir manusia serba materialistis. Segala cara dihalalkan  ketika melihat peluang ‘nilai jual’. Termasuk dalam konteks ini, sumber daya alam (Bumi) dikeruk secara eksploitatif tanpa mempertimbangkan keberlangsungan makhluk hidup dan kelestarian ekosistemnya. Alhasil, lingkungan hidup mengalami kerusakan (environmental damage) dan mendorong terjadinya perubahan iklim (climate change). Tindakan demikian menyiratkan arti keserakahan dan nir-etika dari manusia.

Etika menjadi barang mahal dalam era modernisasi. Absennya etika menimbulkan efek domino yang menjalar ke ranah sosio-ekonomi. Ketika lingkungan rusak, mengakibatkan sebagian kelompok masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya dari sumber daya alam tidak dapat beraktivitas seperti sediakala. Mata pencaharian mereka hilang dan kebutuhan primer menjadi langka. Masyarakat modern cenderung mengorbankan nilai-nilai etis kemanusiaan demi pemenuhan ego dan ambisi-ambisi kapitalistik.

Menjadi sangat penting untuk merevitalisasi etika dalam laku hubungannya dengan alam. Sebab, lingkungan alam merupakan unsur vital kelangsungan semua sector —politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Perlu digelorakan upaya penyadaran bahkan “penyucian” kembali (re-sakralisasi) terhadap alam dan menempatkannya bukan lagi sebatas objek, tetapi sebagai entitas subjek. Bumi hari ini menjadi penentu eksistensi generasi mendatang.

Modal Berharga Indonesia

Setidaknya ada dua alasan mengapa Indonesia memiliki modal berharga bagi tumbuhnya keselarasan lingkungan alam. Pertama, agama Islam. Ruh Islam di Indonesia, sebagai mayoritas, tumbuh senapas dengan ajaran Rasulullah, yakni tidak rigid, akomodatif, dan mengutamakan maslahat. Islam (di) Indonesia di samping mengajarkan tentang hubungan sosial, juga diarahkan bagaimana memperlakukan alam lingkungan. Lingkungan yang aman dan nyaman, berbanding lurus pada kelancaran dakwah hingga ibadah.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan