Indonesia, meski tidak secara langsung menyatakan diri sebagai negara sekuler atau negara agama, namun agama memilki posisi yang begitu penting dalam ruang publik (Suedy, 2021). Beragama menjadi jati diri warga negara secara keseluruhan. Maka tak heran, bilamana negara hadir dengan menyuguhkan regulasi yang tak sedikit jumlahnya mengenai agama.
Belakangan, pemerintah mencanangkan suatu program yang bertujuan untuk menghalau arus radikalisme dan menciptakan masyarakat yang toleran. Tak lain, program tersebut ialah Moderasi Beragama. Program tersebut diyakini dapat memecahkan problem mengakar atas maraknya kasus intoleran di Indonesia. Bahkan, program tersebut terdaftar dalam RPJMN 2020-2024 serta dikuatkan dalam Perpres Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama.
Terlepas dari tujuan mulia pemerintah untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang toleran, Moderasi Beragama turut menuai kontroversi. Berbagai kalangan turut merespon hal hangat ini, mengingat terdapat indikasi bahwa melalui program ini negara berusaha mencampuri urusan agama dan keyakinan masyarakat.
Di satu sisi, istilah moderat yang lekat dengan terminologi Barat pun turut menuai pro kontra.Terlebih pada ranah pesantren yang memiliki akar kebudayaan Indonesia.
Forum Komunikasi Pesantren Muadalah (FKPM) yang terdiri dari berbagai pesantren tradisional dan modern melalui Deklarasi Tegalsari pun menganggap konsep Moderasi Beragama merupakan pemaksaan konsep Barat yang dipaksakan masuk dalam ranah pesantren (pesantrenmuadalah.id, 2019). Selain itu, pada tahun 2022 juga terdapat taggar yang trending di media sosial twitter dengan mengangkat #tolakmoderasiberagama.
Buku yang berangkat dari perspektif lintas iman ini menyisakan sedikitnya tiga argumen utama dalam merespon program Moderasi Beragama.
Pertama, pembedahan secara linguistik mengenai terminologi ‘moderat dan ‘moderasi beragama’. Asumsi dari proses memoderatkan umat beragama ialah melakukan dikotomi antara yang moderat dan tidak moderat, ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Tentu hal ini malah berimplikasi pada semakin lebarnya jurang dikotomi tersebut. Sehingga memunculkan tipologi yang secara tidak sadar akan menancap dalam benak umat beragama dan negara untuk saling menuduh dan menilai satu sama lain.
“MODERASI BERAGAMA” adalah sudut pandang cara seseorang dalam beragama bukan -dilihat dari- agamanya.