Menelaah Piagam Madinah sebagai Konstitusi Modern

29 views

Masih sering terjadi perdebatan apakah keberadaan suatu negara yang didasarkan pada konstitusi (paham konstitusionalisme) bertentangan atau tidak Al-Qur’an. Pada titik yang ekstrem, bahkan ada yang menyebut, jika secara legal-formal tidak didasarkan pada Al-Qur’an, bisa dianggap sebagai negara kafir (thogut). Benarkah demikian? Bagaimana Islam sendiri memberi panduan soal pengelolaan sebuah negara?

Maqashid Syari’yyah

Advertisements

Islam yang diajarkan dan dibawa oleh Nabi Muhammad SAW membawa berbagai aspek kehidupan yang inheren dengan kehidupan manusia. Aspek kehidupan yang diatur dalam ajaran Islam berorientasi pada maqashid syar’iyyah atau tujuan-tujuan dasar syariat. Di dalanya mengandung penjagaan terhadap lima hal pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima hal pokok tersebut menjadi orientasi ajaran Islam karena eksistensi kehidupan manusia tidak akan berarti tanpa adanya kelima pilar tersebut.

Namun, disadari juga bahwa kelima pilar syariat tersebut tidak akan dapat tegak dengan sempurna tanpa adanya payung yang menaunginya, yaitu negara. Artinya, untuk menegakkan syariat dipersyaratkan adanya sebuah negara. Dan negara dengan pemerintahan yang kuat dapat menjaga tegaknya pilar-pilar maqashid ayar’iyyah tersebut. Kemudian, disintegrasi negara karena vakumnya pemerintahan dapat menjadi sebab tidak tegaknya syariat, sebagaimana yang terjadi pada permulaan Islam di bawah cengkeraman kaum kafir Quraisy Makkah.

Berkaitan dengan itu, fakta sejarah mencatat bahwa pada saat umat Muslim belum memiliki kedaulatan sendiri, berbagai gangguan represif dari luar harus mereka terima. Tidak sedikit umat Muslim yang bahkan sampai harus disiksa lantaran strata sosial menempatkan mereka pada posisi minoritas. Superioritas kekuasaan kaum kafir Quraisy terlihat sangat mendominasi, hingga akhirnya umat Muslim mendapatkan perintah ilahi untuk hijrah dari kota suci dan tanah kelahiran mereka tersebut.

Pasca hijrahnya umat Muslim ke Yatsrib, Rasulullah mengadakan perjanjian dengan penduduk asli kota tersebut dan mengubah nama kotanya menjadi Madinah. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara menjelaskan bahwa perjanjian yang kemudian disebut Piagam Madinah tersebut mengatur butir-butir kesepakatan mengenai pertahanan dan ketertiban kota. Di samping itu, diatur pula jaminan hak, kebebasan, dan persamaan hukum dalam piagam tersebut. Oleh karenanya, beberapa sarjana seperti Montgomery Watt dan Nicholson menyebutnya sebagai konstitusi dalam pengertian konstitusi modern dewasa ini (Asshiddiqie, 2022, pp. 84 – 85)).

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan