Di tengah derasnya arus informasi digital, opini publik tak lagi dibentuk fakta semata. Namun, oleh siapa pun yang cepat dan masif menyuarakannya. Terlebih, masyarakat modern kian mudah terprovokasi oleh emosi ketimbang fakta.
Akhir-akhir ini, istilah buzzer atau pendengung juga marak kita dengar. Hal ini berarti bahwa dunia digital telah membawa kita pada sebuah dilema: antara kebenaran objektif dan keyakinan pribadi.

Tema krusial inilah yang kemudian diangkat secara tajam oleh Ahmad Rofiq dalam bukunya Post Truth dan Problem Moral di Era Digital. Ia mengkaji bagaimana ruang digital semakin memarginalkan kebenaran objektif, lalu menggantinya dengan narasi emosional yang membentuk apa yang disebut sebagai “kebenaran alternatif.” Dalam konteks ini, opini yang dibentuk oleh sentimen dan viralitas sering kali lebih dipercaya ketimbang fakta yang dapat diverifikasi.
Secara lugas, buku ini menggambarkan kepada kita tentang fenomena pasca kebenaran atau biasa dikenal dengan istilah post truth. Yakni, kondisi ketika masyarakat digital lebih rentan terkontaminasi dan terprovokasi oleh informasi yang diproduksi dengan tujuan komersial. Dalam artian, kebenaran menjadi semakin relatif dan objektivitas data sering kali terabaikan.
Rofiq kemudian menjelaskan bahwa post truth telah menjalar ke berbagai sektor dan wacana. Tidak hanya sosial-politik, namun juga ekonomi, agama, hingga sains.
Salah satu contoh menarik yang ia angkat adalah peristiwa pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016. Dalam kasus ini, semakin sering media meliput Donald Trump—terlepas dari kebenaran atau kebohongan yang disampaikan—semakin besar pula panggung dan pengaruh yang ia dapatkan. Ini menciptakan paradoks: kebohongan yang terus-menerus disuarakan justru memperkuat posisi politiknya.
Tak berhenti di situ, Rofiq juga membahas mengenai problem moral digital yang muncul sebagai akibat dari era post truth. Mulai dari klaim moral, cyberbullying, fanatisme, hingga subversi digital. Problem ini muncul akibat tidak adanya objektivitas data. Apa yang menjadi kebenaran—meski direkayasa—menjadi pijakan dalam menghakimi orang lain dan melegitimasi sebuah penilaian subjektif.