Tradisi Pesantren dan Kesalahan Konseptual

Perbincangan tentang pesantren belakangan ini kembali ramai. Narasinya sering memojokkan kehidupan di pesantren, terutama berkaitan dengan relasi santri dan kiainya. Pengabdian santri, mulai dari membantu membangun pondok tanpa upah, mencium tangan kiai, hingga menaati segala petunjuk guru, kerapkali disamakan dengan praktik feodalisme, suatu istilah yang sarat dengan konotasi buruk.

Padahal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI Daring, feodalisme dimaknai sebagai sistem sosial yang memberikan kekuasaan besar kepada bangsawan, atau sistem yang mengagungkan jabatan dan pangkat, bukan prestasi kerja. Jika makna itu dijadikan tolok ukur, istilah tersebut masih begitu kurang tepat untuk menggambarkan relasi di pesantren. Namun demikian, wacana publik kita kadung menggunakan istilah itu secara serampangan untuk menuding segala bentuk hierarki, termasuk hubungan kiai-santri.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Media dan Etika

Gelombang besar polemik ini kembali mencuat setelah tayangan Xpose Uncensored di Trans7 pada 13 Oktober 2025 yang menyoroti praktik di pesantren dengan nada provokatif. Akibatnya, tayangan tersebut menuai gelombang protes dan melahirkan tagar #BoikotTRANS7 di media sosial. Banyak kalangan pesantren yang menilai pemberitaan itu tidak adil, karena tidak menghadirkan suara dari pihak yang dituduh.

Sebagaimana yang sudah diingatkan Gus Dur dalam esainya, Pesantren sebagai Subkultur (2007), yang menjelaskan akan pendekatan ilmiah yang terbaik untuk memahami pesantren adalah pendekatan naratif dari dalam. Tanpa narasi internal, istilah seperti feodalisme mudah sekali untuk disalahgunakan dan menjadi alat stigma terhadap tradisi yang tidak sesuai dengan selera modernitas.

Pandangan serupa pun datang dari Ismail Fajrie Alatas, sosok antropolog yang menulis What Is Religious Authority? Cultivating Islamic Communities in Indonesia (2021). Dalam unggahan Instagram Story-nya pada 16 Oktober 2025, Alatas menyinggung kecenderungan kalangan modernis dan liberal yang “selalu merasa paling tahu dan paling benar, tetapi gagal memahami kerumitan tradisi sebagai himpunan hidup.”

Menurutnya, semangat egalitarianisme modern seringkali melahirkan kesalahpahaman terhadap hierarki tradisional, seolah setiap bentuk ketundukan selalu identik dengan praktik penindasan. Padahal, dalam masyarakat tradisional seperti pesantren, sebuah hierarki justru menjadi jalan penting untuk membentuk moral, pengetahuan, dan kepribadian.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan