Pagi itu matahari memanjat pelan di atas genting pesantren yang karatnya berkilat seperti sisa doa yang tak selesai. Embun di daun pisang bergetar pelan, memantulkan cahaya ke halaman tempat santri-santri kecil berlarian membawa kitab lusuh. Di antara mereka, Alya berdiri dengan sapu di tangan, sementara matanya menatap ke langit seolah sedang membaca ayat yang tertulis di udara.
“Santri sejati bukan hanya yang hafal kitab,” begitu kata Kiai Ma’shum suatu subuh yang masih berembun. “Tapi yang mampu membaca zaman tanpa kehilangan iman.” Kalimat itu melekat di dada Alya seperti cap air wudhu yang tak pernah kering.

Setiap kali malam turun, dan pesantren tenggelam dalam zikir yang bergetar di udara, Alya membuka laptop pinjaman dari kakak kelasnya. Di pojok gudang yang berdebu, di bawah suara jangkrik dan kilatan lampu petromak, ia merekam video dakwah kecil—tentang sabar, tentang ilmu, tentang cinta yang menuntun manusia menuju Tuhan. Ia menyebut kanalnya “Langit Pesantren”.
Ia tidak pernah berharap terkenal. Hanya ingin agar pesan-pesan kecil dari kitab kuning itu bisa keluar dari dinding bambu, menembus layar kaca, dan menyentuh hati orang-orang yang tak pernah sempat mengaji. Namun, dunia maya tidak selalu ramah bagi kesederhanaan. Ada yang mencibir, “Santri kok main kamera.” Ada pula yang sinis, “Dakwah kok pakai efek cahaya.”