Dalam sejarah panjang Nusantara, secara historis teologis, ijtihad teologi tanah dan air yang digagas dan diimplementasikan oleh para wali dan kiai melandasi lahirnya pasal 33 ayat 3 UUD 1945: “Bumi, air, dan kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Melalui cara-cara yang sesuai dengan adat istiadat dan budaya lokal, masyarakat dipupuk ikatan emosinya dengan tanah, air, dan hutan di segenap penjuru Nusantara. Dalam lagu Indonesia Raya yang asli, tiga stanza karangan WR Supratman, alam pikiran masyarakat soal tanah berberkah, tanah sakti, dan keramat itu termaktub di dalamnya.
November 1945, Resolusi Jihad dari Mbah Hasyim Asy’ari sejatinya manifestasi teologi untuk mempertahankan tanah air Nusantara dari para penjajah yang ingin merebut dan merampasnya dari rakyat Indonesia. “…kejernihan sanubari bahwa membela tanah air adalah manifestasi iman di hati.”
Pada masa kepresidenan Bung Karno, UU Pokok Agraria 1960 diterbitkan: “Tanah mempunyai fungsi sosial dan pemanfaatannya harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.” Namun, pada masa Orde Baru selama 32 tahun, distorsi dan penyimpangan tafsir UUPA 1960 banyak sekali terjadi. Seperti UU Pertambangan Nomor 11/1967 atau UU Pertambangan dan Gas Bumi Nomor 8/1971 yang memberikan peluang besar atas hak pengelolaan sumber agraria kepada pihak-pihak swasta dan asing.
Bermula dari pengambilalihan tanah adat Kajang oleh pemerintah pada 1968, pada 2013 di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, terjadi sengketa HGU perkebunan karet PT London Sumatera dengan petani. Fungsi sosial atas tanah telah digeser oleh fungsi komersial sebagai bisnis yang menjanjikan keuntungan.
Pada Muktamar NU ke-25 1971 di Surabaya, Rais Aam PBNU KH Wahab Chasbullah dalam pidato iftitahnya mengatakan, “Mewarisi bumi ini artinya membangunnya agar menjadi suatu dunia yang sejahtera, aman dan makmur, yang di dalamnya berisi keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.”
Di Mesir pada 1980-an, gagasan Hassan Hanafi untuk menggeser teosentrisme menjadi lebih antroposentris berpengaruh terhadap bangkitnya teologi tanah pada abad kapitalisme global. Dalam kasus tanah, ketika seseorang sudah mengakui Allah sebagai Tuhan Semesta Alam, maka konsekuensinya adalah manusia harus memperlakukan ciptaan Allah dengan sebaik-baiknya, termasuk tanah. Untuk itu, modus-modus produksi yang berhubungan dengan kepentingan umum tidak dapat dimiliki secara pribadi dan harus dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Keadilan sosial adalah napas teologi tanah. Dalam konteks Nusantara, keadilan sosial bagi rakyat Indonesia adalah napas teologi tanah-air.