Akar Historis Patriarki dalam Fikih

Setiap gagasan besar lahir dari ruang dan waktu tertentu. Fikih pun begitu. Ia tidak turun dari langit dalam bentuk pasal-pasal yang rapi, tapi tumbuh dari pergumulan manusia dengan teks dan realitas sosialnya.

Ketika Islam muncul di Jazirah Arab abad ke-7, masyarakatnya sudah terbentuk oleh strukrtur patriarkal yang kuat: laki-laki memegang kuasa ekonomi, politik, dan keluarga; sementara perempuan hidup di bawah perlindungan — atau dalam banyak kasus, kekuasaan — laki-laki. Dalam situasi inilah teks-teks Al-Qur’an turun: sebagian mengoreksi praktik zalim terhadap perempuan, sebagian menata ulang relasi sosial, dan sebagian memberi ruang moral baru bagi keadilan.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Namun, perubahan sosial beriringan dengan berputarnya roda waktu. Setelah Nabi wafat, otoritas tafsir dan hukum berpindah ke tangan para ulama — dan hampir semua yang menafsirkan teks Al-Qur’an adalah laki-laki. Maka, meskipun Al-Qur’an membawa semangat kesetaraan spiritual, pembacaan terhadapnya sering kembali terseret oleh kebiasaan sosial lama.

Wael Hallaq mencatat, dalam abad-abad awal Islam, ijtihad berkembang di ruang-ruang akademik yang seluruhnya maskulin, di mana otoritas keilmuan ditentukan oleh siapa yang memiliki akses ke masjid besar, madrasah, dan kitab-kitab tebal — semuanya domain laki-laki.

Faktor kedua adalah struktur pendidikan klasik. Perempuan sangat jarang memiliki akses ke lembaga ilmu formal. Ada memang nama-nama seperti Rabi’ah al-‘Adawiyah, Fatimah binti Sa’d al-Khayr, atau aisyah binti Abu Bakr yang menjadi rujukan hadis dan moralitas. Tapi mereka lebih dikenal karena spiritualitas dan keteladanan, bukan karena karya hukum yang sistematis. Akibatnya, “pengalaman perempuan” tidak pernah menjadi bagian eksplisit dari proses pembentukan fikih. Yang dibahas bukan bagaimana perempuan mengalami kehidupan sosial, melainkan bagaimana laki-laki melihat perempuan dalam kehidupan sosial.

Dalam kitab-kitab klasik para ulama memaparkan hukum-hukum yang sangat rinci tentang haid, nifas, juga masa iddah — tetapi semua dari sudut pandang hukum ritual dan kesucian, bukan dari realitas biologis atau psikologis perempuan itu sendiri.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan