Setiap gagasan besar lahir dari ruang dan waktu tertentu. Fikih pun begitu. Ia tidak turun dari langit dalam bentuk pasal-pasal yang rapi, tapi tumbuh dari pergumulan manusia dengan teks dan realitas sosialnya.
Ketika Islam muncul di Jazirah Arab abad ke-7, masyarakatnya sudah terbentuk oleh strukrtur patriarkal yang kuat: laki-laki memegang kuasa ekonomi, politik, dan keluarga; sementara perempuan hidup di bawah perlindungan — atau dalam banyak kasus, kekuasaan — laki-laki. Dalam situasi inilah teks-teks Al-Qur’an turun: sebagian mengoreksi praktik zalim terhadap perempuan, sebagian menata ulang relasi sosial, dan sebagian memberi ruang moral baru bagi keadilan.

Namun, perubahan sosial beriringan dengan berputarnya roda waktu. Setelah Nabi wafat, otoritas tafsir dan hukum berpindah ke tangan para ulama — dan hampir semua yang menafsirkan teks Al-Qur’an adalah laki-laki. Maka, meskipun Al-Qur’an membawa semangat kesetaraan spiritual, pembacaan terhadapnya sering kembali terseret oleh kebiasaan sosial lama.
Wael Hallaq mencatat, dalam abad-abad awal Islam, ijtihad berkembang di ruang-ruang akademik yang seluruhnya maskulin, di mana otoritas keilmuan ditentukan oleh siapa yang memiliki akses ke masjid besar, madrasah, dan kitab-kitab tebal — semuanya domain laki-laki.
Faktor kedua adalah struktur pendidikan klasik. Perempuan sangat jarang memiliki akses ke lembaga ilmu formal. Ada memang nama-nama seperti Rabi’ah al-‘Adawiyah, Fatimah binti Sa’d al-Khayr, atau aisyah binti Abu Bakr yang menjadi rujukan hadis dan moralitas. Tapi mereka lebih dikenal karena spiritualitas dan keteladanan, bukan karena karya hukum yang sistematis. Akibatnya, “pengalaman perempuan” tidak pernah menjadi bagian eksplisit dari proses pembentukan fikih. Yang dibahas bukan bagaimana perempuan mengalami kehidupan sosial, melainkan bagaimana laki-laki melihat perempuan dalam kehidupan sosial.
Dalam kitab-kitab klasik para ulama memaparkan hukum-hukum yang sangat rinci tentang haid, nifas, juga masa iddah — tetapi semua dari sudut pandang hukum ritual dan kesucian, bukan dari realitas biologis atau psikologis perempuan itu sendiri.
Ibn Rusyd dalam kitab Bidayah al-Mujtahid memetakan perbedaan pendapat para ulama tentang talak, waris, dan saksi, namun tak satupun ruang pembahasannya memperhitungkan aspirasi perempuan. Hal ini bukan karena mereka bias secara moral, melainkan karena ruang sosial mereka tidak memberi kemungkinan untuk melihat realitas dari sudut lain.
Patriarki dalam fikih, karenanya, bukan semata bias pribadi ulama, tapi hasil dari struktur epistemik —yakni cara pengetahuan itu diproduksi. Pengetahuan hukum Islam pada masa kini ditulis dari pengalaman laki-laki untuk kepentingan komunitas laki-laki. Maka perempuan hadir bukan sebagai subjek pengetahuan, melainkan sebagai objek hukum: sesuatu yang harus diatur, dijaga, dan dibatasi. Dalam buku Bahasa, Fatima Mernissi, menulis bahwa “perempuan menjadi simbol keteraturan sosial, bukan pelaku sosial.”
Dengan memahami akar historis patriarki dalam fikih, kita bisa menempatkan kritik bukan sebagai penolakan terhadap Islam, tapi sebagai usaha mengembalikan semangat wahyu—yakni keadilan dan rahmat. Kritik terhadap fikih lama bukan bentuk pembangkangan, tapi tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa hukum Islam tetap hidup, relevan, dan berpihak pada kemanusiaan. Sebab, hukum yang membungkam separo umatnya demi mempertahankan tafsir lama, bukan lagi syariat yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
