Tidak mudah membincang soal pesantren dalam perdebatan dan gerak kebangsaan di negeri ini, karena hampir semua bahasan, analisis, dan laporan mengenai kedua peristiwa penting sebagai tonggak gerakan kebangsaan, yakni Kongres pertama Boedi Oetomo 1908 maupun Kongres Pemoeda ke-2 1928 tidak menyebut secara luas peran pesantren di dalamnya. Terutama pada Kongres Pemoeda ke-2, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, Jong Batak, Jong Theosofen Bond, Ambonsche Strudeerenden, Minahasa Strudeerenden, Studieclub Indonesia, Boedi Oetomo, dan Muhammadiyah memang disebut sebagai peserta resmi. Tetapi, pesantren dan NU sebagai lembaga/organsasi resmi sama sekali tidak terdaftar. Kesertaan pemuda Wahab Hasbullah, Hasyim Asy’ari, dan Wahid Hasyim dalam perhelatan tersebut diakui sebagai perorangan.
Dua Jendela
Ada dua jendela (entripoint) yang dapat dipakai untuk melongok dan mengawali perbincangan soal tersebut. Pertama, perdebatan seru antara Takdir Alisjahbana dan Dr Sutomo tentang corak masyarakat dan karakter manusia Indonesia baru yang diinginkan di masa depan (Achadiat, K. Mihardja, Polemik Kebudayaan). Dalam perdebatan yang lebih dikenal sebagai polemik kebudayaan yang meruak sejak tahun 1930-an itu, Sutomo yang dalam perdebatan dasar ideologis pergerakan kebangsaan dikenal kritis terhadap ideologi Islam bukan saja terlihat antusiasme terhadap pesantren, tetapi juga gigih membela dan mengkampanyekan untuk memertahankan di tengah gempuran lawan-lawan polemiknya seperti Takdir Alisjahbana. Beruntung, karena Sutomo memeroleh dukungan dari Sanusi Pane dan Ki Hadjar Dewantara, bahkan yang terakhir itu kemudian berusaha mengadopsi sistem pendidikan pesantren untuk diterapkan di Taman Siswa. Kedua, lukisan historis pesantren sepanjang setengah abad (1900-1950), seperti yang dibuat sejarawan, yang memerlihatkan kecenderungannya yang paling kuat untuk terlibat dalam perang gerilya melawan kolonialisme Belanda. Deskripsi mengenai pesantren kala itu melukiskan bahwa lembaga pendidikan ini “menghentikan aktivitas intelektualnya dan bergerak ke hutan untuk menjadi pasukan perang gerilya melawan Belanda”.
Tetapi mengapa Sutomo begitu semangat membela sistem pendidikan pesantren yang kala itu terkenal tradisional, kuno, dan “kampungan”? Justru karena tradisionalitas dan kekunoannya itulah pesantren dapat memenuhi kebutuhan paling mendasar proses pembentukan kebangsaan saat itu dan masa depan. Dengan pilihan lokasi perdesaan dan pinggiran kawasan industri, pesantren bukan saja menjauh dari pusat kekuasaan politik melainkan juga terhindar dari penetrasi kekuatan luar seperti politik kolonial dan kapitalisme, yang keduanya dapat mengantarkan pesantren menemukan identitas diri. Pesantren awal, seperti dituturkan sejarawan Taufik Abdullah (Pesantren dalam Perspektif Sejarah) menjadi “pembentuk dunia” dan realitas pedesaan khususnya di Jawa, sebuah kesimpulan yang juga dikemukakan oleh Gus Dur (Kebangkitan Kembali Peradaban Islam: Adakah Ia?). Dengan kemampuannya melebur hasrat kebirokrasian yang menguat dalam sistem pendidikan Barat ke dalam suasana kekeluargaan (antara kiai dan santri), dan tidak terpakunya pada penumpukan pengetahuan dan pengasahan otak belaka tetapi juga mementingkan pembentukan kepribadian dan karakter manusia, pesantren berhasil melahirkan generasi intelektual yang berbeda dari “intelektual surau” dan “intelektual Barat”. Mungkin karena kesuksesan membentuk kepribadian dan karakter itulah yang menarik perhatian para tokoh pergerakan karena memang soal itu yang paling diperlukan saat itu. Bukankah pokok masalah yang diperdebatkan mereka adalah bagaimana corak masyarakat dan karakter manusia yang dikehendaki di masa depan.