KOTA YANG TAK LAGI BERNAMA
Ada jalan yang tak lagi mengenali langkahnya.
Dinding-dindingnya menghafal desingan,
lebih fasih dari doa-doa yang mengering di bibir ibu.
Langit terlalu sering pecah,
tetapi hujan tak pernah jatuh.
Hanya puing, hanya abu,
hanya nama yang ditulis di batu
dan tak sempat disebutkan lagi.
Di tikungan itu, seorang anak masih menunggu.
Mungkin ayahnya akan pulang,
mungkin tidak.
Mungkin rumahnya masih ada,
mungkin hanya ingatan yang berusaha bertahan.
Bangunjiwo, 2025.
SURAT YANG TAK PERNAH SAMPAI
Selembar kertas terbang di udara,
melayang di antara reruntuhan.
Tak ada alamat. Tak ada penerima.
Mungkin surat itu ditulis untuk Tuhan,
sebab hanya Dia yang masih punya rumah di sini.
Di halaman kedua, ada kalimat yang terputus:
“Ibu, aku ingin pulang…”
Tetapi di kota ini, pulang hanya kata kerja yang mati,
seperti tubuh-tubuh yang tak sempat bertanya
mengapa dunia membiarkan ini terjadi.
Di pagi yang sunyi, seorang lelaki memungut surat itu.
Ia membaca namanya sendiri di sana.
Dan tahu, ia sudah lama tidak ada.
Bangunjiwo, 2025.
ANAK-ANAK YANG TAK LAGI BERMIMPI
Mereka tumbuh tanpa belajar mengeja kata “tenang.”
Langit adalah palu godam,
dan hari-hari adalah pecahan kaca
yang harus diinjak tanpa menangis.
Di jendela yang sudah tak berbingkai,
seorang anak menggambar matahari.
Tetapi warna kuning sudah habis,
dan tangannya gemetar saat mencoba mengingat
seperti apa bentuknya sebelum semuanya terbakar.
Ia bertanya pada ibunya:
“Apakah besok kita masih ada?”
Dan ibunya tersenyum,
seperti seseorang yang tahu jawabannya,
tetapi tak ingin mengatakannya.
Bangunjiwo, 2025.
MALAM YANG KEHILANGAN CAHAYA
Dulu, malam seperti tangan yang lembut,
menyembunyikan luka di balik sunyi.
Sekarang, malam adalah peluit panjang,
langkah sepatu di tikungan,
dan ketukan yang selalu berarti
ada yang tak akan kembali.
Di kota ini, gelap tidak berarti tidur.
Gelap berarti bertahan.
Gelap berarti berdoa tanpa suara,
karena bisikan pun bisa berubah
menjadi alamat bagi kematian.
Dan di sebuah rumah tanpa atap,
seorang anak menatap bulan yang kabur.
Ia bertanya dalam hati,
“Apakah Tuhan masih melihat kami?”
Bangunjiwo, 2025.
JIKA TANAH BISA BICARA
Tanah ini sudah terlalu lama berteriak.
Tetapi dunia sibuk dengan angka-angka,
dengan peta-peta yang diubah diam-diam.
Di sini, waktu hanya hitungan mundur.
Musim semi tak pernah selesai tumbuh.
Bayi-bayi lahir tanpa negara.
Dan kematian berjalan pelan,
seperti seseorang yang sudah hafal
semua alamat di kota ini.
Di sebuah gang yang sempit,
seorang ibu menatap langit.
Ia tahu, mungkin besok ia tak akan ada.
Mungkin tanah ini akan menelannya,
seperti ia telah menelan jutaan nama sebelumnya.
Tetapi ia tetap berdiri.
Sebab jika tanah ini bisa bicara,
ia akan berkata:
“Aku belum mati.”
Bangunjiwo, 2025.
Sumber ilustrasi: istock.