Analisis Sosiologis “Arbabun Mutafarriqun” dalam Masyarakat Kontemporer

194 kali dibaca

Dalam kajian sosiologi agama, konsep politeisme dan monoteisme telah lama menjadi subjek diskusi. Namun, perkembangan masyarakat modern telah memunculkan bentuk-bentuk baru “objek pemujaan” yang menarik untuk ditelaah.

Tulisan ini akan mencoba menganalisis fenomena tersebut dengan menggunakan perspektif Al-Qur’an Sura tYusuf ayat 39 sebagai titik awal refleksi.

Advertisements

Istilah “Arbabun Mutafarriqun” atau “tuhan-tuhan yang terpencar” dalam Al-Qur’an dapat diinterpretasikan secara kontemporer sebagai bermacam-macam bentuk ketergantungan dan pengkultusan dalam masyarakat modern. Manifestasi fenomena ini, meliputi beberapa aspek yang akan dibahas lebih lanjut dalam artikel ini.

Pertama, fenomena “keakuan” atau individualisme yang berlebihan dapat dipandang sebagai bentuk pengagungan diri yang mengesampingkan nilai-nilai kolektif dan transendensi. Dari perspektif sosiologis, hal ini dapat dilihat sebagai respons terhadap modernitas dan globalisasi yang tampak amat sangat paradoksial. Individualisme ekstrem ini mencerminkan pergeseran nilai dalam masyarakat kontemporer.

Dalam ajaran Islam, keakuan biasa dikenal dengan istilah “anaiyah” yang seringkali dipandang sebagai sifat negatif yang perlu dihindari atau dikendalikan. Hal ini karena Islam mengajarkan pentingnya kerendahan hati, pengabdian kepada Allah, dan kepedulian terhadap sesama.

Keakuan yang negatif, dapat mengarah pada penafian Tuhan dan merupakan bentuk ekstrem dari egosentrisme dan kesombongan. Dalam konteks ini, keakuan menjadi suatu kondisi di mana seseorang menempatkan dirinya sebagai pusat dari segala sesuatu, bahkan hingga tingkat yang dapat mengabaikan atau menolak keberadaan kekuatan yang lebih tinggi.

Kedua, revolusi digital telah menciptakan bentuk ketergantungan baru pada teknologi. Studi-studi psikologi dan neurosains menunjukkan bagaimana teknologi dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku, bahkan menciptakan kecanduan.

Seperti misalnya, fenomena “phubbing” (mengabaikan orang di sekitar demi gadget) adalah contoh nyata bagaimana teknologi bisa menjadi “tuhan” yang mendikte perilaku sosial kita.

Ketiga, pemujaan terhadap figur publik. Hal ini dapat dilihat sebagai manifestasi modern dari kebutuhan manusia akan tokoh panutan. Pengkultusan selebriti ini menarik untuk dikaji dari sudut pandang psikologi sosial dan teori identitas yang mencerminkan pergeseran dalam struktur sosial dan sumber nilai dalam masyarakat kontemporer. Sebab, Fans fanatik seringkali meniru gaya hidup, penampilan, termasuk juga pola pikir idola mereka tanpa filter kritis.

Beberapa orang rela melakukan apa saja demi mendapatkan perhatian dari selebriti favoritnya, bahkan mirisnya terkadang hingga mengabaikan kebutuhan dan prioritas pribadi mereka sendiri.

Keempat, keterikatan yang kuat pada ideologi tertentu yang dapat mengakibatkan polarisasi sosial. Fanatisme ideologis ini relevan dengan konsep “echo chamber” dalam studi komunikasi massa dan psikologi kognitif. Fenomena ini menunjukkan bagaimana keyakinan dapat menjadi bentuk “pemujaan” baru yang mempengaruhi dinamika sosial.

Fenomena-fenomena di atas memiliki implikasi mendalam bagi struktur sosial dan psikologi individu. Mereka dapat membentuk hierarki nilai baru, mempengaruhi pola interaksi sosial, dan bahkan mendefinisikan ulang konsep identitas dan makna hidup dalam masyarakat modern.

Analisis terhadap konteks “arbabun mutafarriqun” dalam masyarakat kontemporer membuka wawasan baru dalam memahami dinamika sosial-keagamaan era modern. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun bentuk ekspresinya berubah, kebutuhan manusia akan transendensi dan makna tetap ada dan terus berkembang dalam bentuk-bentuk baru.

Meskipun kemudian hal tersebut meninggalkan suatu tantangan ke depan adalah bagaimana menyeimbangkan kemajuan material dan teknologi dengan kebutuhan spiritual dan eksistensial, serta bagaimana membangun pemahaman yang lebih luas tentang spiritualitas dalam konteks masyarakat yang terus berubah. Sebab, jika ditelaah dari sudut pandang yang sedikit lebih kritis, fenomena ini juga dapat dilihat sebagai bentuk alienasi dan dehumanisasi yang perlu dikaji lebih mendalam lagi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan