Di ruang diskusi duniasantri, kami sering menertawakan hal-hal serius dan, sebaliknya, serius mendiskusikan hal-hal lucu.
Dalam suatu obrolan, sambil lalu kami mendiskusikan kemajuan teknologi komputasi digital sampai tahap 4.0, yang didaku sebagai puncak kecerdasan manusia. Di antara kami ada yang nyeletuk, “Itu semua karena ditemukannya angka nol.” Dan kami mengamininya.
Seorang dari kami, yang kebetulan lulusan jurusan matematika Institut Teknologi Bandung, menjelaskan kehebatan angka nol itu sehingga melahirkan rumus-rumus canggih ketika bertautan bertalian dengan bilangan-bilangan lain.
“Tapi tahu tidak, nol itu apa, bilangan apa?” tanya seorang dari kami.
“Setahu saya, bilangan itu kalau tidak genap ya ganjil. Kalau tidak negatif, ya bilangan positif. Kalau…”
Ketika sarjana matematika itu masih mencoba mencari-cari jawaban yang pas, di antara kami ada yang nyeletuk lagi, “Nol itu bilangan syariah, tahu ….”
Ruang diskusi duniasantri bergetar oleh ledakan tawa kami.
Yang memancing ledakan tawa itu akhirnya memberi penjelasan: sebelum sampai ke generasi milenial kini, angka nol telah melalui perjalanan yang sangat panjang. Angka nol dalam bentuk simbol kemungkinan besar telah dikenal pada zaman Hilal Subur di Mesopotamia kuno. Untuk mengisi kekosongan pada kolom angka, para penulis Sumeria menggunakan spasi sebagai tanda. Yang tercatat, penggunaan simbol nol pertama terjadi pada abad ke-3 di masa Babilon kuno. Dari sana, dalam perkembangan terakhir, sekitar abad ke-7 Masehi, seorang matematikawan India, Brahmagupta, menggunakan titik-titik kecil di bawah angka sebagai simbol angka nol. Filosofinya, nol juga memiliki nilai sendiri, yaitu null (tidak ada), yang juga disebut dengan sunya.
Pada abad ke-8, sekitar tahun 773, seorang ilmuwan muslim, Mohammed ibn-Musa al-Khowarizmi, menerbitkan sebuah kitab berjudul al-Jabr wal Muqabalah (Pengutuhan Kembali dan Pembandingan). Al-Jabr menjadi buku pertama matematika dalam sejarah peradaban manusia. Melalui buku ini, al-Khowarizmi menjadi orang pertama yang memperkenalkan penggunaan bilangan nol sebagai nilai tempat dalam basis sepuluh, yang disebut sistem bilangan desimal. Nama aljabar untuk matematika juga diambil dari judul buku tersebut. Buku ini sangat populer di negara-negara Barat dan diterjemahkan ke bahasa Latin dan Italia.
Khawarizmi juga berjasa dalam mengembangkan tabel sinus, cosines, dan trigonometri. Berkat penemuan angka nol oleh Khawarizmi inilah maka ilmu matematika mengalami kemajuan pesat dan mempengaruhi perkembangan tegnologi, khususnya teknologi komputasi digital dengan ditemukannya gerbang logika dan kode ASCII, hingga kita berada di era 4.0, kini.
“Nah, kan, kalau semua hal sekarang diberi label syariah, boleh dong angka nol juga kita sebut bilangan syariah. Atau sekalian aljabar kita sebut matematika bersyariah? Kan, penemunya ilmuwan muslim?”
Sekali lagi, ruang diskusi duniasantri bergetar oleh ledakan tawa kami. Begitulah cara kami merespons tren “syariahisasi” di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Seperti halnya angka nol, istilah syariah juga mengalami perjalanan yang relatif panjang. Menurut kajian Fazlur Rahman dalam bukunya Islam, istilah syariah baru mulai banyak digunakan ilmuwan muslim pada abad ke-2 Hijriah. Sebelumnya, istilah yang sering dipakai adalah ad-din. Al-Quran pun lebih sedikit menyebut istilah syariah, yaitu hanya lima kali, dibandingkan dengan ad-din yang disebut sebanyak 92 kali dan tersebar di 82 ayat.
Imam al-Ghazali pun memberi judul pada maha karyanya Ihya Ulumuddin, bukan Ihya Ulumussyariah. Karena, pada mulanya pengertian keduanya nyaris sama, namun belakangan pengertian istilah syariah mulai “menyempit”. Rupanya al-Ghazali ingin mengembalikannya kepada ad-din.
Ad-din, yang sebagai kata memiliki arti agama, oleh para ulama didefinisikan sebagai peraturan Allah yang mencakup masalah akidah dan amal. Ia merupakan suatu sistem menyeluruh yang mengatur semua urusan hidup manusia. Begitu pula dengan syariah. Kata yang memiliki arti jalan (menuju sumber) air ini oleh para ulama didefinisikan sebagai ketetapan dari Allah berupa sistem yang mengatur masalah akidah, ibadah, muamalah, dan etika atau hukum-hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Dari pengertian yang hampir sama itu, kini istilah dinul Islam lebih jarang terdengar ketimbang syariah Islam. Bisa jadi ini ada hubungannya dengan formalisme hukum Islam, karena dalam perkembangan pencabangan ilmu-ilmu keislaman, jalan syariah lebih condong ke sisi hukum Islam hingga sering dipertukarkan dengan fiqh atau produk hukum itu sendiri. Pengertian syariah akhirnya menyempit, yang dinisbatkan hanya pada teks-teks hukum dalam al-Quran dan sunnah Nabi.
Gejala formalisme hukum Islam inilah yang kemudian melanda Indonesia: “syariahisasi”. Semua hal mau diberi label syariah, termasuk negara, dengan jargon “NKRI Bersyariah”, sebuah anakronisme yang getir. Gejala itu merembet ke daerah-daerah, hingga banyak muncul istilah peraturan daerah (perda) syariah. Maka, seorang gubernur pun ada yang mewajibkan seluruh aparaturnya salat berjamaah lima waktu, yang sudah jelas hukumnya sunah muakad. Maka, di berbagai pelosok Nusantara pun menjamur label syariah, hingga ada wisata syariah, ada pengobatan syariah, ada salon kecantikan syariah, bahkan ada panti pijat syariah. Masih kurang? Ada jilbab syar’i! (Seakan-akan ada jilbab yang tak syar’i, misalkan jilboobs).
Bagaimana kita membaca gejala “syariahisasi” ini, di Indonesia? Jika kita membaca buku Ilusi Negara Islam yang penerbitannya diinisiasi KH Abdurahman Wahid (Gus Dur), maka sesungguhnya “syariahisasi” ini bagian dari perang ideologi dari kelompok yang disebut Wahabi, yang jaringan dan pengikutnya telah menyusup ke berbagai elemen masyarakat Indonesia. Tujuan akhirnya, tentu, menjadikan Indonesia sebagai negara Islam atau dalam irisan lain menegakkan sistem khilafah di Nusantara.
Tentu saja, medan peperangan adalah pasar terbuka bagi para pemburu rente. Karena itu, di bawah hiruk-pikuk peperangan ideologi, istilah syariah pun berubah menjadi merek dagang. Di situ, motifnya bukan lagi ideologi,alih-alih menjalankan dinul Islam dengan benar, tapi keuntungan ekonomi. Maka ada bank syariah, yang praktiknya wallahualam. Ada kluster-kluster kompleks perumahan syariah. Bahkan shampoo pun ada yang syariah.
Yang terasa lebih getir adalah ketika melihat orang-orang yang tidak tahu asal muasalnya lalu kegenitan dan terbawa arus “syariahisasi”. Mereka merasa diri sebagai kaum muhajirin, yang bersama Nabi berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Inilah mungkin representasinya: ada seorang artis yang baru “hijrah” ngotot berkeliling kemana-mana mencari masjid untuk Jumatan di tengah pandemi Corona. Ia merekam perjalanannya saat mencari masjid sambil menyindir yang tak Jumatan sebagai kafir, dan disiarkan melalui Vlog. Tahukah dia bahwa pamer diri beribadah itu telah menghilangkan pahalanya? Apalagi dengan mengkafirkan sesamanya?
Tapi saya pun suka genit dan ikut-ikutan. Di ruang diskusi duniasantri, saya bagikan tayangan Liga Inggris yang disiarkan salah satu stasiun televisi di Timur Tengah, lalu saya beri title “Sepak Bola Syariah”. Tentu saja karena disiarkan dalam bahasa Arab.
Lagi, ruang diskusi duniasantri bergetar oleh ledakan tawa kami.