Bagi lelaki tunanetra itu, tongkat kayu menjadi teman karib yang bertahun-tahun membantu dirinya menempuh arah. Tongkat itu pangkalnya lusuh dengan burai warna legam bekas genggaman tangan. Ia bisa menebak medan jalan dan benda-benda melalui perantara tongkat itu. Setiap kali ujungnya menyentuh tanah atau benda, maka tongkat itu seperti sensor otomatis yang mengirim sebuah kesimpulan ke sarafnya, sehingga ia bisa menebak keadaan jalan yang sedang ditempuh atau menyebut sebuah benda yang disentuh ujung tongkatnya.
“Meski aku tak melihat, tapi aku ingin membuat jalan ke arah surga bersamamu,” bisiknya pada tongkat itu, seraya mengelus bagian gagangnya.
#
Pagi itu ia harus menyisihkan pekerjaannya sebagai penganyam tikar. Usai subuh, ia pamit kepada istrinya untuk ikut gotong royong pembuatan jalan baru yang membelah lereng bukit Manuk yang berjarak sekitar dua kilometer ke arah utara rumahnya.
Jalan setapak itu dibuat sebagai akses baru untuk menghubungkan dusun Bato dan dusun Aeng agar warga dari dua dusun itu bisa saling menjangkau dengan mudah; anak-anak dusun Bato lebih dekat jika ingin bersekolah ke dusun Aeng, sedang warga dusun Aeng lebih dekat jika ingin ke pasar yang ada di dusun Bato.
“Mas Toha sebagai tunanetra mestinya tidak perlu pergi ke gotong royong itu. Itu pekerjaan orang normal. Aku khawatir, Mas Toha alih-alih mau membantu malah hanya merepotkan yang lain,” suara istrinya terdengar dari pintu bilik yang hanya tersekat sarung bekas.
Ia tersenyum. “Aku akan membantu apa yang aku bisa. Aku sadar aku buta, tapi aku yakin masih ada pekerjaan yang bisa kulakukan,” suaranya datar dan lembut. Istrinya tak menjawab.
Sejenak keadaan mendadak hening, hanya terdengar ribut ayam di kandang belakang dapur. Ia lalu meraih tongkat kayu kesayangannya. Pada ujung tongkat itu sudah terikat sebuah tas plastik berisi singkong rebus yang sejak semalam ia persiapkan sebagai bekal.