Bedah buku Sastrawan Santri (Etnografi Sastra Pesantren) yang ditulis oleh Raedu Basha, melahirkan sebuah pemahaman lebih luas tentang sastra pesantren, khususnya Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Bertempat di Kafe Tabularasa, Sumenep, Kamis, 3 Desember 2020, bedah buku ini dihadiri kalangan santri, alumni pesantren, pegiat pesantren, dan tokoh-tokoh sastra lainnya. Buku yang berasal dari tesis ini memang membincang tentang eksistensi sastra pesantren, atau santri yang menjadi sastrawan.
Sastrawan Santri termasuk buku yang ekseklusif fenomenal karena mendapat penghargaan Sotasoma dari Balai Bahasa Jawa Timur. Sebuah penghargaan bergengsi untuk sebuah buku yang tidak banyak atau untuk mendapatkannya memerlukan penilaian yang transenden (luar biasa dan bermakna). Seperti yang diungkapkan oleh penulisnya sendiri, Raedhu Basha.
“Saya inginkan dari buku ini sebuah nilai pustaka yang tidak biasa, buku ekseklusif, imanen, dan transenden,” kata Raedu Basa ketika mengulas tendensi lahirnya buku ini.
Sebelum itu, seorang cerpenis, Juwairiyah Mawardi, sebagai pembedah buku pertama mengungkapkan bahwa dari buku ini dapat dipahami tentang keberadaan sastrawan yang lahir dari pondok pesantren. Khusus Pesantren Annuqayah, cerpenis dengan segudang karya ini menjelaskan, telah lahir sastrawan-sastrawan baik tingkat regional maupun nasional.
“Di pesantren Annuqayah sangat mudah sekali terjadi iklim sastra. Hal ini (mungkin) dikarenakan sejak awal di lingkungan pesantren ini sudah dibiasakan kegiatan yang bernilai sastra. Seperti pembacaan tahlil, dibak, barzanji, berbagai nadzaman, bahkan yang mengarah langsung kepada sastra; puisi, sudah sangat dekat dengan keseharian santri,” demikian menurut perempuan yang saat ini menjadi pengajar di PP Annuqayah dan PP Al-Amin, Prenduan, Sumenep, Madura.
Lebih jauh, Juwairiyah Mawardi mengatakan bahwa santri secara fisik memang seakan-akan “terpenjara”. Namun secara mental, imajinasi, mereka bebas menjelajah ke relung antah berantah kehidupan. “Secara fisik santri Annuqayah terkekang dan terpenjara. Namun imajinasi mereka bebas berkeliaran ke mana-mana,“ jelas Juhairiyah dengan semangat meskipun kegiatan ini ditimpa rintik hujan malam.