Ini merupakan salah satu pondok pesantren tertua, khususnya di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Terletak di Desa Kesugihan, Kecamatan Kesugihan, pondok yang mulai dirintis pada 1925 ini mulanya dikenal sebagai Pondok Kesugihan. Kini, setelah berganti nama menjadi Pondok Pesantren Al Ihya Ulumaddin, santrinya mencapai ribuan, lembaga pendidikannya lengkap, mulai dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi.
Adalah KH Badawi Hanafi, ulama asal Purworejo, Jawa Tengah, yang merintis pendirian pesantren ini, yang dilandasi semangat berdakwah untuk mencerdaskan masyarakat yang hidup di bawah kungungan penjajahan Belanda. Pada mulanya, KH Badawi Hanafi hanya memanfaatkan sebuah musala kecil peninggalan ayahnya di Desa Kesugihan itu. Dari semula, musala itu dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama “Langgar Duwur”, mungkin karena letaknya berada di ketinggian.
Di ruang musala sederhana itulah KH Badawi Hanafi mulai mengajar mengaji. Mulanya, yang belajar mengaji di musala itu hanyalah anak-anak, remaja, atau orang tua dari daerah sekitar. Kiai Badawi dikenang sebagai sosok yang sabar dan telaten dalam membimbing para santri. Tapi, mereka yang datang ke kediaman Kiai Badawi ternyata tak cuma bertujuan mencari ilmu. Banyak dari mereka bertamu untuk meminta doa keberkahan dan keselamatan. Berkat kesabaran dan ketelatenannya membimbing masyarakat itulah Kiai Badawi semakin dikenal luas sebagai ulama yang alim.
Akhirnya, seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang yang datang untuk berguru. Tak hanya datang dari daerah dekat-dekat “Langgar Duwur”, yang nyantri kepada Kiai Badawi juga datang dari jauh, dari daerah-daerah lain. Para santri itu pun, karena datang dari jauh, ada yang mulai menetap di langgar itu.
Untuk memenuhi kebutuhan santri yang menetap itulah akhirnya pada pada 24 Nopember 1925 dibangun pondok. Saat mulai banyak santri menetap, sebutan “Langgar Duwur” itu berganti menjadi Pondok Pesantren Kesugihan, mengambil nama desanya.
Saat pondok mulai berkembang dan ramai, Kiai Badawi wafat. Kepemimpinan pondok dilanjutkan oleh kedua putranya, KH Ahmad Mustholih dan KH Chasbulloh Badawi. Pada 1961, dilakukan perubahan. Nama Pondok Pesantren Kesugihan berganti menjadi Pendidikan dan Pengajaran Agama Islam (PPAI). Namun, pada 1983, kembali berubah namanya menjadi Pondok Pesantren al Ihya Ulumaddin. Nama yang dipakai hingga kini. Perubahan nama dilakukan untuk mengenang jasa Kiai Badawi yang dikenal sangat mengagumi pemikiran al Ghazali, pengarang kitab Ihya Ulumuddin.
Setelah Kiai Mustholih Badawi wafat pada tahun 1998, kepemimpinan pesantren diteruskan oleh adiknya, KH Chasbullah Badawi dan putranya, KH Imdadurrohmahman Al Ubudi. Kepemimpinan pesantren secara kolektif kolegial dari keluarga besar Kiai Badawi. Sejak periode inilah, Pondok pesantren al Ihya Ulumaddin mengalami perkembangan sangat pesat. Pada periode ini pula lahir lembaga-lembaga pendidikan formal, mulai dari TK hingga madrasah aliyah. Dan, setelah KH Mustholih Badawi wafat pada 1999, kepemimpinan pondok pesantren dipegang adiknya, KH Chasbulloh Badawi, hingga sekarang.
Kini, Pondok Pesantren al Ihya Ulumaddin telah dihuni ribuan santri. Mereka tak hanya berasal dari daerah-daerah di Pulau Jawa. Banyak santri berasal dari luar Jawa, seperti daerah-daerah dari Pulau Sumatera atau Kalimantan. Di pondok yang kini berdiri di atas lahan seluas sekitar 5 hektare ini, telah berdiri lembaga pendidikan formal berbasis agama, mulai dari TK hingga aliyah. Ada juga sekolah umum seperti SMP dan SMU. Bahkan, sejak 1988 telah didirikan perguruan tinggi, yaitu Institut Agama Islam Imam Ghozali.
Meskipun begitu, Pondok Pesantren al Ihya Ulumaddin tetap mempertahankan sistem pendidikan pesantren salafi model bandungan dan sorogan.Sederet kitab kuning tetap menjadi mata ajar utama, yang wajib bagi tiap santri, terutama yang berkaitan dengan ilmu fikih, tasawuf, akhlak, dan nahwu sorof. Dengan demikian, Pondok Pesantren al Ihya Ulumaddin terbilang sebagai salah satu pesantren tertua yang tetap mempertahankan sistem tradiosional namun telah mengadopsi atau mengkombinasikan dengan sistem pendidikan modern.
Sebagai gambaran, misalnya, Pondok Pesantren al Ihya Ulumaddin tetap mempertahankan sistem ngaji sorogan, takror, bandungan. Selain itu, masih ada pengajian dan tahfidzul al-Quran, muhafadzoh kutub an-nahwiyah, sholawat al-Barzanji, serta mujahadah dan riyadloh. Untuk pendidikan madrasah nonformal, ada Madrasah Diniyah Nahdlatuth Thullab Tingkat Ulaa dan Madrasah Diniyah Nahdlatuth Thullab Tingkat Wustho. Untuk pendidikan formal, ada MTs dan SMP, MA dan SMA, serta Institut Agama Islam Imam Ghozali.
Meskipun tetap mempertahankan tradisi salaf, Pondok Pesantren al Ihya Ulumaddin ini telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang cukup modern.