Durian, Marning, dan Buah Pancasila

(Catatan remeh-temeh seputar ulang tahun ke-6 jejaring duniasantri)

Tujuh hari setelah gegap gempita perayaan 6 tahun jejaring duniasantri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, saya masih diliputi rasa bangga yang tak tertahankan.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Bagaimana tidak? Acara yang dihadiri tokoh-tokoh nasional itu sukses besar. Dari Malam Panggung Seni Santri, Sarasehan Pancasila yang panas dan dihadiri para petinggi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), semuanya benar-benar membuat saya terkesima. Belum lagi workshop penulisan kreatif dan jurnalistik yang memantik semangat berkarya di kalangan santri. Ini terbukti dari banjirnya puisi, cerpen, esai, dan laporan jurnalistik di portal duniasantri.co.

Keberhasilan ini tentu patut diacungi jempol. Namun, di balik euforia itu, ada satu pikiran fundamental yang terus mengusik: sejauh mana pemahaman dan praktik nilai-nilai Pancasila di kalangan santri?

Pertanyaan itu terus membesar, berkembang menjadi, “Apa rencana jejaring duniasantri untuk mengembangkan santri agar lebih mendalami dan mengamalkan nilai-nilai kebersamaan?”

Sebagai seorang penulis yang tak punya kapasitas struktural, saya merasa pertanyaan ini amat penting. Saya harus mendapatkan jawaban. Tanpa basa-basi, saya langsung menghubungi sang pemantik api itu sendiri: Pemimpin redaksi merangkap ketua yayasan jejaring duniasantri, Mukhlisin.

Sialnya, alih-alih mendapatkan jawaban, saya malah mendapat pesan yang jauh dari ekspektasi. Begitu sambungan telepon terhubung, Mas Mukhlisin bukannya menjawab, malah mengirimkan deretan foto-foto dan lokasi GPS.

“Aduh, Mas Mahwi,” suaranya renyah di seberang sana. “Bisakah hal itu kita bicarakan setelah kita di Depok, di tempat kita biasa berkelakar? Saya lagi sama Albi dan teman-teman panitia dalam perjalanan ke Wonosalam, kami mau kulineran.”

Sial. Setengah menyesal, saya merutuk. Kenapa saya pulang duluan? Nama Wonosalam seketika memicu narasi lain di kepala: sejarah masyayikh, Candi Arimbi, hingga kerukunan dalam keberagaman yang tercermin dari komunitas Hindu dan Muslim di sana.

Tunggu dulu. Saya harus kembali fokus. Tujuan awal saya adalah mendapatkan jawaban, bukan mengembara di ingatan sejarah. Tapi, ah, sayangnya, Mukhlisin tak kunjung menjawab. Ia tampak seperti anggota DPR yang tak menemui rakyatnya saat berunjuk rasa. Bedanya, kalau anggota DPR menunjukkan goyangan bin joget-jogetan, Mukhlisin, seusai menjawab singkat tentang adanya candi dan keberagaman di Wonosalam, mengalihkan fokus pada keasyikan menikmati Wonosalam yang indah.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

One Reply to “Durian, Marning, dan Buah Pancasila”

Tinggalkan Balasan