Meskipun konstelasinya telah berubah, ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme masih menjadi ancaman global, termasuk di Indonesia. Karena itu, upaya untuk mengadang gerakan ekstremisme-terorisme harus berkelanjutan.
Hal tersebut mengemuka dalam media gathering yang diselenggarakan Wahid Foundation di Jakarta, Jumat (21/2/2025). Acara yang diikuti sekitar 30 media nasional mengambil tema “Refleksi Implementasi Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (PE) 2020-2024. RAN PE ini didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 yang masa berlakunya habis pada Desember 2024 lalu.

Hadir sebagai narasumber dalam media gathering ini adalah Direktur Kerja Sama Regional dan Multilateral Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Dionnisius Elvan Swasono, peneliti bidang politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Irine Gayatri, dan Policy and Development Officer Wahid Foundation Mujtaba Hamdi. Acara dipandu redaktur islami.co Dedik Priyanto.
Mewakili Wahid Foundation, Research and Advocacy Officer Wahid Foundation Libasut Taqwa dalam pembukaannya berharap media gathering ini dapat menjadi ruang refleksi yang bermanfaat serta memperkuat sinergi antara semua pihak.
“Ini dalam rangka untuk mewujudkan Indonesia yang damai dan bebas dari ekstremisme,” ujarnya.
Sementara itu, sebagai pembicara pertama, Mujtaba Hamdi menekankan bahwa refleksi ini harus diarahkan pada evaluasi pentingnya isu ekstremisme bagi masyarakat secara luas. Berdasarkan kajian dan penelitian yang dilakukan Wahid Foundation, menurut Mujtaba, ada tiga faktor yang bisa mendorong munculnya ekstremisme dan terorisme yang disebutnya tiga P, yaitu pull atau budaya tarik, push atau dorongan, dan personal atau faktor individual orang per orang.
“Ideologi keagamaan dengan narasi janji-janji surga merupakan contoh faktor daya tarik atau pull tadi,” ujar Mujtaba. Sementara, keadaan sosial-politik-ekonomi yang tidak sesuai ekspektasi atau harapan bisa menjadi daya dorong atau push factor ekstremisme dan terorisme.
Mujtaba mengakui bahwa setidaknya dalam dua tahun terakhir tidak terjadi serangan terorisme di Indonesia. Hal ini menjadi indikasi bahwa program pencegahan dan penanggulangan ekstremisme dan terorisme di Indonesia relatif berhasil.
“Namun harus diingat, meskipun tidak ada serangan, tapi penangkapan-penangkapan terhadap terduga teroris masih terus terjadi. Ini membuktikan bahwa ancaman itu masih ada,” jelas Mujtaba.
Hal senada diungkapkan Dionnisius Elvan Swasono. Ia juga memaparkan keberhasilan RAN PE yang mencapai 97,8 persen. Atau, dari 135 rencana aksi, sebanyak 132 telah diimplementasikan. Rencana aksi pencegahan dan penanggulangan ekstremisme dan terorisme yang melibatkan multipihak, menurutnya, cukup berhasil.
Sebagai bukti, Dionnisius menunjuk kian melemahnya jaringan dan logistik terorisme. “Kekuatan logistik dan jaringan mereka terus melemah. Saat ini mereka sudah sangat lemah. Namun, yang masih sulit dideteksi adalah munculnya single actors dari self radicalism. Ini yang sulit,” jelas Dionnisius.
Ia sepakat bahwa ekstremisme dan terorisme tergolong bahaya laten yang akan terus ada sepanjang faktor-faktornya mendukung. Karena itu, ia berharap pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto melanjutkan RAN PE ini ke fase kedua.
“BNPT sudah mengirimkan surat ke Presiden untuk menerbitkan Perpres RAN PE fase kedua. Kami sudah menyiapkan desain RAN PE dalam lima tahun ke depan,” tuturnya.
Irine Gayatri mendukung sepenuhnya rencana aksi pencegahan dan penanggulangan ekstremisme dan terorisme berkelanjutan dengan melibatkan sebanyak mungkin masyarakat sipil.
“Memang diperlukan dua pendekatan sekaligus untuk mengadang ekstremisme dan terorisme ini, yaitu pendekatan keamanan dan pendekatan dengan melibatkan masyarakat sipil. Karena tak mungkin ini bisa dilakukan pemerintah sendirian,” tegas Irine.
Di akhir sesi, Mujtaba Hamdi berharap agar pemotongan anggaran demi efisiensi yang dilakukan pemerintah tidak berdampak pada pencegahan dan penanggulangan ekstremisme dan terorisme ini.
“Karena kalau sampai terdampak, akan sangat berbahaya dan kerugiannya terlalu besar dibanding dengan efisiensinya,” jelasnya.