Meski terlahir dari keluarga Nahdliyin, tumbuh berkembang di lingkungan dan pendidikan yang berbasis Nahdlatul Ulama (NU), saya juga punya banyak kenalan dan teman dari organisasi sebelah yang (konon) disebut-sebut sebagai organsiasi Islam modern, Muhammadiyah. Apalagi sejak melanjutkan Program Magister di Universitas Muhammadiyah Surabaya, saya mulai serius mengamati diskusi ihwal ke-Muhammadiyah-an.
Saya tak bisa menyangkal, bahwa NU dan Muhammadiyah adalah saudara secara ideologi. Meskipun, di era kolonialisme, sebagaimana disinggung oleh Aksin Wijaya dalam bukunya Menatap Wajah Islam Indonesia, ada konflik wacana tegang antara keduanya di daerah Jawa yang diakibatkan perbedaan dalam prinsip pemahaman keagamaan. Motif serupa (pergumulan Islam pembaharu) juga terjadi antara Islam Shattariyah dan Pemangku Adat di Minangkabau pada saat itu. Namum perlu ditegaskan ulang, itu dulu, di era kolonialisme.
Dalam konteks sekarang, karakter tradisionalis dan modern itu menjadi agak subtil untuk dua organisasi massa terbesar di Indonesia ini. Pergumulan narasi tradisionalis dan reformis sudah jarang terdengar. NU dan Muhammadiyah nyaris alpa dalam kontradiktif tersebut. Bahkan kita akan jarang menjumpai pertarungan argumentasi yang tegang perihal bidah di antara keduanya. Seolah pertarungan argumen tentang bidah adalah perdebatan yang selesai dan sangat klise untuk diperdebatkan lagi di saat sekarang.
Namun, tak bisa dimungkiri, beberapa di antara mereka justru menolak menghindari perdebatan itu. Mereka bukan hanya memantik perdebatan, namun juga sering melontarkan bahasa kurang sedap terhadap NU, tradisi keagamaan, dan tokoh-tokoh NU yang disegani, hanya karena berbeda dengan apa yang dipikirkan, lalu dianggapnya sebagai bid’ah dhalalah.
Hal yang lebih menarik untuk saya amati adalah cara bersikap yang lebih puritan. Jauh dari sikap Muhammadiyah yang saya kenal, yang biasanya lebih moderat dalam bersikap, sebagaimana juga di NU. Tak jarang, isu khilafahisasi sering menjadi bahan ocehan dengan upaya menekan nasionalisme, melempar komentar sinis atas gagasan Islam Nusantara, dan bahkan gagasan moderasi beragama.