Geliat Pesantren Tertua di Madura

166 views

Tengoklah ke Banyuanyar. Hari-hari ini, hampir sepanjang bulan Oktober-Desember 2020, Banyuanyar menjadi pondok pesantren yang sangat sibuk dengan berbagai kegiatannya. Sebagai pondok pesantren yang tertua di Pulau Madura, Banyuanyar seakan memiliki elan vital, daya hidup, dan daya cipta yang tak ada habisnya. Hampir 2,5 abad!

Jika sempat membuka laman web Pondok Banyuanyar yang selalu update, banyuanyar.net, atau berbagai platform media sosialnya, kita akan tahu betapa sibuknya pondok pesantren ini. Kegiatan yang paling anyar di Banyuanyar adalah Pentas Nasional Santri (Pena Santri) 2020. Rupanya, kegiatan ini diinisiasi oleh Persatuan Alumni Barul Ulum Banyuanyar (Peradaban), wadah alumni Pondok Banyuanyar yang sudah tersebar di seluruh pelosok Nusantara.

Advertisements

Rangkaian kegiatannya banyak dan beragam. Ada Festival Tarbiyah Diniyah Nasional, Workshop Sinematografi, Seminar Nasional, Webinar Nasional, dan Peradaban Award. Jenis kegiatan-kegiatan tersebut benar-benar kekinian, yang menunjukkan bahwa sebagai salah satu pesantren tertua di Indonesia, Pondok Banyuanyar ternyata sangat adaptif terhadap perkembangan zaman.

Sumber Air Baru

Pondok pesantren ini menyandang nama “Banyuanyar” lantaran sang pendiri, KH Istbat Bin Ishak, menemukan sumber air baru saat membuat sumur di suatu tempat yang kini masuk Desa Potoan Daya, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan, Madura. Hingga kini, hampir 2,5 abad kemudian, dari kedalaman tanah Madura yang gersang itu, sumber airnya tak pernah kering.

Karena penemuan sumber air baru itulah, pondok pesantren yang dirintis KH Istbat ini lebih dikenal dengan nama Pondok Banyuanyar, artinya (sumber) air baru —meskipun memiliki nama resmi Pesantren Darul Ulum Banyuanyar.

KH Istbat mulai merintis Pondok Banyuanyar ini pada 1787. Di atas sebidang tanah gersang nan sempit, Kiai Istbat mendirikan langgar atau musala, yang juga kecil dan sederhana. Di musala inilah Kiai Istbat mulai mengajar mengaji dan mengasuh santri-santri dari daerah setempat. Saat itu, Kiai Istbat dikenal sebagai guru yang sabar, telaten, istikomah, dan zuhud. Sebelum meninggal pada 1868, Kiai Istbat berwasiat kepada keturunannya, agar pada saatnya di tempat itu dibangun pondok pesantren yang memadai agar bisa melahirkan santri yang mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan umat.

Wasiat Kiai Istbat itu memang dijalankan sepenuh hati oleh keturunan-keturunannya. Putra Kiai Istbat, yaitu KH Abdul Hamid meneruskan perjuangan ayahnya hingga 1933. Saat itu, langgaran peninggalan Kiai Istbat sudah mulai dikembangkan menjadi pondok pesantren. Tak hanya santri kalong, santri mukim juga telah berdatangan dari berbagai daerah.

Pondok Banyuanyar mengalami perkembangan pesat saat berada di bawah kepemimpinan KH Abdul Majid bin Abdul Hamid, cucu dari Kiai Istbat. Di bawah asuhan Kiai Majid, banyak dilakukan pembangunan sarana dan prasana pendidikan santri. Jumlah santri pun kian banyak, datang dari berbagai daerah di luar Pulau Madura. Banyak santri Pondok Banyuanyar di bawah asuhan Kiai Majid ini yang kemudian menjadi ulama besar, seperti KH As’ad Samsul Arifin (Pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Salafiyah Asembagus, Situbondo), KH Shaleh (Pengasuh Pondok Pesantren Suger, Jember), dan KH Zaini Mun’im (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo).

Namun, saat itulah, pada 1943, Kiai Majid justru merintis dan membina pondok pesantren yang baru, yang sekarang dikenal dengan nama Mambaul Ulum Bata-Bata berlokasi di Desa Panaan, Kecamatan Palengaan, kurang lebih 2 km ke arah selatan dari Pondok Banyuanyar. Saat itu, kepemimpinan pondok diserahkan kepada putranya yang tertua, KH Abdul Hamid Bakir.

Tetapi, saat itu KH Abdul Hamid Bakir tidak bisa selalu berada di Pondok Banyuanyar. Kiai Hamid Bakir lebih sering berada di Pulau Jawa, ikut aktif i berjuang melawan Belanda di daerah Jember dan Banyuwangi. Karena itu, urusan pembinaan dan kepemimpinan pondok diserahkan  kepada KH Baidawi, adik kandung Kiai Majid, pamannya sendiri.

Agen Pendidikan

Di bawah kepemimpinan Kiai Baidawi, terjadi lompatan-lompatan berarti di masanya. Pada 1961, misalnya, Pondok Banyuanyar memelopori berdirinya madrasah di beberapa daerah di Madura, seperti di Kabupaten Pamekasan, Sumenep, dan Sampang. Saat itu, Pondok Banyuanyar berperan sebagai agen dari pendidikan pondok pesantren yang dapat terjangkau oleh lapisan masyarakat yang tidak memungkinkan menimba langsung ke pondok pesantren. Meski begitu, sistem pendidikan di Pondok Banyuanyar masih mempertahankan tradisi sebelumnya, focus terhadap pendalaman pengetahuan agama melalui sistem pengkajian kitab kuning.

Kini, Pondok Banyuanyar berada di bawah asuhan KH Muhammad Syamsul Arifin, yang memimpin pondok sejak 1980. Di bawah kepemimpinan Kiai Syamsul Arifin inilah  Pondok Banyuanyar mulai menyandang nama resmi Darul Ulum. Darul Ulum juga dijadikan nama untuk institusi-institusi yang dikembangkan oleh Pondok Banyuanyar.

Pondok Banyuanyar juga terus mengembangkan diri sesuai dengan wasit pendirinya. Pengembangan sarana dan prasarana serta sistem pendidikannya terus dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya, Pondok Banyuanyar kini sudah memiliki asrama santri yang dilengkapi dengan auditorium, gedung madrasah, wc umum, dan beberapa bangunan penunjang lainnya. Bahkan, ada khusus asrama untuk anak yatim.

Sistem pendidikannya juga terus dikembangkan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Misalnya, Pondok Banyuanyar juga telah menyelenggarakan sistem pendidikan formal dan sistem pengembangan pendidikan spesialisasi bakat dan minat santri. Jenjang pendidikannya juga sangat lengkap, mulai pendidikan untuk anak usia dini hingga perguruan tinggi, misalnya Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab (STIBA).

Sebagai salah satu pondok tertua, tentu alumninya sudah mencapai ribuan dan tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Mereka inilah yang kemudian menginisasi penyelenggaraan Pena Santri 2020 agar para santri tetap memiliki daya hidup dan daya cipta untuk kemajuan bangsa seperti yang diwasiatkan oleh pendirinya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan