Humor atau Horor Demokrasi?

Di tengah cuaca politik yang kurang bersahabat dan krisis iklim akhir-akhir ini, muncul sebuah ironi yang sedikit menggigit negeri ini, dengan tiga pertanyaan berbentuk meme di media sosial; jika sulit mendapat air, bagaimana hukum berwudhu menggunakan Pertamax campuran? Bolehkah tayamum menggunakan nikel? Apakah lempar jumrah boleh menggunakan batubara?”

Ekspresi kritik dengan bentuk meme yang lahir dari budaya internet ini, agaknya sudah dianggap sebagai ancaman politik atau dilebih-lebihkan sebagai kritik terhadap pribadi. Karena kita tahu, belum lama ini, kasus pelaporan meme yang dianggap menghina tokoh publik, seperti sayap pemuda Partai Golkar yang melaporkan akun pembuat meme Bahlil Lahadalia ke polisi, sudah memperlihatkan betapa rapuhnya toleransi kita terhadap kebebasan berekspresi.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Padahal, seorang pakar komunikasi digital seperti Lim (2020), memberikan penjelasan, bahwa hari ini meme menjadi “bahasa baru masyarakat jaringan” yang berfungsi menegosiasikan kekuasaan melalui humor. Yang terkadang, kehadirannya bukan sekadar lelucon, melainkan alat warga untuk memotret absurditas sosial dan politik yang tak bisa dijelaskan lewat wacana formal. Maka tidak berlebihan jika meme hari ini menjadi cermin demokrasi digital yang jenaka, spontan, dan terlalu jujur untuk memberikan penyadaran.

Namun, lagi-lagi masalah muncul ketika ruang demokrasi di dunia maya tidak tumbuh seiring kedewasaan aktor politiknya. Banyak para elite masih memandang kritik, apalagi dalam bentuk jenaka, sebagai penghinaan pribadi, bukan ekspresi publik. Padahal, seperti dikatakan filsuf politik Martha Nussbaum (2010), demokrasi sehat membutuhkan “kemampuan untuk tertawa pada diri sendiri,” sebab humor adalah tanda keterbukaan dan empati terhadap pandangan lain. Ketika meme harus dihadapi dengan laporan polisi, bukan dengan tawa atau klarifikasi, itu pertanda kita sedang mengalami defisit kepercayaan diri dalam berdemokrasi. Dan meme sejatinya bekerja dengan logika “cermin retak” karena ia memantulkan kenyataan dalam bentuk yang terdistorsi agar kita bisa melihat kebenaran di balik absurditas.

Di balik geliat kreativitas itu, hukum kita masih gagap menghadapi fenomena budaya digital. Pasal-pasal karet dalam UU ITE sering menjadi alat untuk menekan ekspresi, bukan melindungi. Ironisnya, generasi muda yang aktif memproduksi meme justru tumbuh di lingkungan politik yang alergi pada humor. Mereka diajarkan untuk berpikir kritis, namun diminta berhenti ketika kritik itu menyinggung ranah kekuasaan. Akibatnya, publik kehilangan salah satu mekanisme paling sehat untuk menyalurkan kekecewaan secara damai; seperti tertawa.

Demokrasi yang dewasa seharusnya bisa menertawakan dirinya sendiri. Di negara-negara dengan tradisi politik mapan, seperti Inggris atau Amerika Serikat, satire politik menjadi bagian dari pendidikan publik. Menurut peneliti budaya populer, Shifman (2014), menyatakan, humor digital memperkuat partisipasi politik karena mengajak warga berpikir kritis lewat kelucuan, bukan doktrin. Sayangnya, di sini, humor masih dianggap penghinaan.

Meski barangkali kita memang belum sepenuhnya keluar dari fase “feodal digital”, di mana citra lebih penting daripada substansi. Padahal, jika kita percaya bahwa demokrasi adalah ruang bagi pikiran, bukan ego, maka tawa adalah bagian dari perjuangan itu. Dan perlu diketahui bersama, meme bukan ancaman bagi demokrasi, ia justru memberikan napas baru, di tengah kebijakan yang sering menyesakkan harapan masyarakat, bukan?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan