Gambar: https://www.ponpesmadaniglobalcitizenship.com/2024/05/mengenal-lebih-dekat-kehidupan-di.html?m=1

Ilmu Tafsir dan Wacana Barunya di Pesantren

104 views

Sebenarnya, tugas menafsirkan Al-Qur`an adalah tanggung jawab Nabi Muhammad Saw. Beliaulah yang secara jelas diberi kewajiban untuk menyampaikan wahyu Ilahi tersebut. Nabi Muhammad harus menyampaikan wahyu tersebut sesegera mungkin, dengan terus-menerus dan tuntas. Demikian sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Maidah ayat 67.

Diperkuat lagi dengan ayat-ayat lain seperti, Ali ‘Imran ayat 20, al-Maidah ayat 92, al-Maidah ayat 99, dan asy-Syura ayat 48. Kesemuanya itu memberi pengertian bahwa tugas pokok Nabi adalah tabligh, semata-mata menyampaikan wahyu-Nya. Artinya, tidak membebani Nabi untuk mencapai capaian-capaian tertentu dalam penyampaian wahyu tersebut. Mengalir sesuai kebutuhan. Tentu, —di balik segala rintangan, tantangan, dan perlawanan yang Nabi hadapi— ada Allah yang menjamin keselamatan Nabi.

Advertisements

Simpulnya, bahwa kewajiban menafsirkan Al-Qur’an adalah kapasitas Nabi. Terkait ini, tidak saya paparkan rangkaian argumentasinya. Perlu satu tulisan tersendiri guna menjelaskannya dari tinjauan tafsir pada ayat-ayat yang telah saya sebutkan di atas —dan kemudian dianalisis menggunakan pendekatan ilmu Tarikh Tasyri’. Insyaallah, akan saya tuliskan pada artikel selanjutnya.

Sekarang persoalannya adalah, apakah sudah tuntas tugas Nabi dalam menyampaikan tafsir-tafsir ayat? Faktanya, pada generasi-generasi setelah Nabi tidak banyak didapati tafsir dari Nabi. Justru, setelah Kanjeng Nabi wafat, tafsir Al-Qur`an mengalami perkembangan terus-menerus, yakni dari yang bervolume sederhana hingga menjadi produk-produk tafsir yang berjilid-jilid.

Nah, dari sini sudah mulai bisa dipahami bahwa landasan dasar mempelajari ilmu tafsir Al-Qur`an adalah menjaga validitas tafsir yang sudah disampaikan Nabi. Semangat menjaga dan melestarikan tafsir nabawi ini didorong oleh kewajiban untuk menjaga ajaran agama Islam yang dibebankan kepada umat Islam seluruhnya.

Dengan fakta bahwa ulama sepeninggal Nabi sudah banyak mengodifikasi tafsir Al-Qur`an, maka yang dibutuhkan umat setelahnya bukanlah ilmu metodologis seperti ulumut tafsir, tapi justru yang mereka butuhkan adalah ilmu praktis ibadah, yakni fikih. Sebagaimana dalam QS. At-Taubah ayat 122.

وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِیَنفِرُوا۟ كَاۤفَّةࣰۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةࣲ مِّنۡهُمۡ طَاۤىِٕفَةࣱ لِّیَتَفَقَّهُوا۟ فِی ٱلدِّینِ وَلِیُنذِرُوا۟ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوۤا۟ إِلَیۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ یَحۡذَرُونَ

Keperluan tafaqquh fiddīn yang diisyaratkan ayat ini adalah menjaga Al-Qur’an dan Hadis dengan pemahaman makna atas teks keduanya berupa materi pokok agama (ushuluddin), masalah furuiyah, adab-adab, dan berbagai anjuran (fadhail). Demikian sebagaimana menurut Al-Biqai dalam tafsir panjangnya, Nadzm al-Durar.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan