Beberapa kali saya membaca tulisan yang berseliweran di dinding atau beranda Facebook terlihat para pengkaji, pemangku, dan pemerhati wacana agama masih sering menggunakan istilah Islam sebagai agama formal. Islam masih dipandang sebagai identitas seseorang, identitas keberagamaan.
Pertanyaan yang muncul sering berbunyi: agamanya apa?
Coba dilihat ulang hadis Nabi terkait definisi agama. Hadis yang bercerita tentang kedatangan Jibril kemudian berdialog bersama Nabi dengan maksud mengajari agama kepada sahabat-sahabat.
Di akhir dialog, Nabi melemparkan pertanyaan kepada sahabat: “Tahukah kalian siapa tadi yang datang?”
“Tidak, wahai Nabi,” kompak para sahabat menjawab.
“Itu tadi Jibril yang datang kepada kalian mengajarkan agama kepada kalian,” kata Nabi.
Apa saja yang diajarkan Jibril? Sudah mafhum bahwa yang diajarkan Jibril ada tiga hal mendasar tentang agama; Islam, Iman, dan Ihsan. Lalu, apa yang baru?
Definisi Islam yang sering diutarakan para pakar, pemerhati, bahkan pemangku agama Islam adalah definisi ini: agama adalah yang diikrarkan oleh lisan, dibenarkan oleh hati, dan dibuktikan dengan pengamalan organ tubuh. Kecenderungan mengakui Islam sebagai agama formal barangkali didasari atas definisi ini. Coba dibaca ulang jawaban Nabi ketika Jibril bertanya perihal Islam.
“Wahai Nabi, katakan padaku, apa itu Islam?” tanya Malaikat Jibril.
“Kamu menyaksikan bahwa tiada tiada Tuhan selain Allah dan kamu menyaksikan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Format yang digunakan dalam hadis ini menggunakan fi’il mudhori, redaksinya berbunyi an tasyhada, artinya menyaksikan. Salah satu faedah dari fi’il mudhori adalah temporal, bermakna sekarang dan yang akan datang, lawannya statis. Ada pula hadis yang menggunakan redaksi mashdar (kata benda). Redaksinya berbunyi syahaadatu, artinya kesaksian.
Hadis pertama dengan redaksi fi’il mudhori diriwayatkan oleh Sahabat Umar. Sedangkan, hadis yang kedua diriwayatkan putranya, Ibnu Umar. Dilihat dari kedekatan jalur periwayatan saja, Sahabat Umar jelas lebih dekat.