Kesaksian Sebuah Surau

82 views

Malam itu dia sedang bahagia. Maka rembulan yang menampakkan diri dengan sempurna di remangnya langit malam itu semakin memeriahkan rona cerah hatinya.

“Sekitar sebulan lagi aku akan meminangmu,” kata lelaki itu. Pelan saja suaranya. Kalimatnya pun hanya sederhana. Pemuda itu polos sekali dalam mengungkapkan keseriusan cintanya. Namun gadis yang duduk di sampingnya tersentak dengan kalimat kekasihnya itu. Sentakan yang memicu syaraf kebahagiaannya.

Advertisements

“Benar Mas? Berarti kamu sudah sanggup memenuhi persyaratan bapak?” gadis itu bertanya dengan nada ceria.

Pemuda bernama Fajar itu baru datang dari kota sore tadi. Kepulangannya adalah untuk memberi tahu Sari, kekasihnya itu, bahwa dia diterima kerja di sebuah pabrik kulit di Kota Malang, dan tentu juga untuk memberi kabar bahwa dia akan segera meminangnya. Bahagianya itu bukan hanya semata-mata mendapat pekerjaan, namun juga karena tiket untuk bisa menikahi kekasihnya itu telah ia miliki. Ayah Sari tidak mau menggadaikan kehidupan anaknya dengan menikahkannya dengan lelaki yang tak jelas pekerjaannya. Kini, ketika ia telah mendapatkan pekerjaan, ia merasa telah mengantungi tiket itu.

Sebulan yang lalu Fajar datang bersama ayahnya untuk melamar Puspitasari binti Karim. Namun dia harus pulang dengan menggendong beban kecewa. Ayahnya pun memikul rasa malu karena Pak Karim tidak mau menerima mantu petani seperti Fajar anaknya itu. Rupanya lumpur becek di sawah yang biasa digeluti pemuda itu menghalangi jalan cintanya. Pak Karim memberi tenggat waktu satu bulan untuk mencari kerja. Jika tidak, seorang pemuda dari tetangga desa siap menggantikan Fajar untuk menyandingi putrinya. Dia tidak ingin anaknya menjadi perawan tua hanya karena menunggu kesiapan pemuda itu.

“Iya. Aku diterima kerja di pabrik kulit. Joko, pemuda yang melamarmu itu, pekerja pabrik juga, kan?”

Sari mengangguk bahagia. Dipandanginya lelaki pujaannya itu. Fajar memandangnya sekilas, kemudian matanya kembali menatap bulan yang sedang bersinar sempurna di hamparan langit yang gulita.

“Boleh aku mencium tanganmu Mas?” Sari meraih tangan Fajar.

“Jangan Sar. Tunggulah saatnya tiba. Kau boleh menciumnya semaumu.” Fajar menarik tangannya.

Sari tersipu. Perasaan cintanya semakin menggunung. Akan halnya dengan Fajar. Dia memang sangat pendiam. Bahkan diam itulah bahasa cintanya. Sari paham hal itu sejak mereka masih kanak-kanak. Sifat pendiam itulah pesona yang membuat Sari tergila-gila.

“Sar, aku pulang dulu ya. Besok aku harus berangkat ke Malang.”

“Sebulan lagi pulanglah untuk meminangku, Mas. Aku tak ingin bersuamikan Joko yang hitam itu,” kata Sari manja. Ada senyum di ujung bibirnya.

“Aku janji. Kita akan segera menikah. Ketika bulan itu sudah kembali datang sebagai purnama, saat itu aku akan meminangmu. Aku akan mengajakmu hidup di kota. Seperti angan-anganmu sejak SD itu. Sekarang aku harus pulang dan menyiapkan perbekalan.”

Muda-mudi itu beranjak dari teras surau. Lambaian tangan memisahkan keduanya. Di atas sana sinar rembulan semakin terang. Pepohonan yang tumbuh subur di kanan kiri jalan melahirkan bayang-bayang hitam. Kunang-kunang beterbangan mengitari alam pedesaan itu. Jangkrik bernyanyi riang, seriang hati kedua kekasih itu. Surau tua itu menyaksikan cerita cinta anak-anak manusia itu dalam diamnya.

* * *

Suara riuh anak-anak yang mengaji di surau tak membuat gadis itu berhenti dari lamunannya. Dulu dia juga mengaji di surau itu. Saat itu yang mengajarinya ngaji adalah Fajar. Teman semasa kecilnya itu tumbuh menjadi pemuda yang agamis dalam didikan ayahnya yang menjadi imam surau itu. Walau umurnya hanya terpaut dua tahun, namun ilmu agamanya jauh mengunggulinya. Pertemuannya tiap malam itu menaut hatinya untuk kemudian melahirkan rasa rindu jika Fajar sedang tidak bisa mengajar. Ternyata rasa yang sama juga dialami Fajar, keduanya kemudian saling mengikrarkan cinta.

Bulan nyaris sempurna berbentuk bulat. Puspitasari semakin dililit cemas karena kekasihnya belum juga datang, padahal besok adalah bulan purnama. Waktu dijanjikannya pinangan itu. Dadanya dirambati perasaan cemas, sebagai akibat harapan yang begitu menggebu menantikan kedatangan kekasihnya.

Dengan tubuh masih dibalut mukena, gadis itu duduk mencakung di teras surau. Tempat di mana mereka sering bertemu. Semilir angin yang bertiup meraut kegalauan yang menerpa hatinya. Suara gemuruh ombak pantai selatan yang berjarak belasan kilo meter dari tempat itu semakin menyayat keresahannya. Dia sangat takut jika Fajar tidak jadi melamarnya dan kemudian ayahnya akan menikahkannya dengan Joko, lelaki yang tidak dicintainya itu. Namun keresahannya segera tertukar dengan bahagia tatkala sebuah motor menderu kemudian berhenti di pelataran surau. Dilihatnya motor itu membawa kekasihnya. Dia segera bangkit menyongsong calon suaminya yang diharapkannya itu. Setelah membayar tukang ojek pemuda bernama Fajar itu bergegas menuju surau. Kepada Sari dia berkata bahwa dia belum shalat maghrib. Sari menangkap raut sedih di wajah kekasihnya. Namun dia menyimpulkan bahwa itu adalah pengaruh rasa letih serta dia tergesa-gesa karena belum shalat. Puspitasari menenangkan diri.

Usai shalat, Fajar segera menemui kekasihnya itu.

Pundak gadis kembang desa itu berguncang menahan tangisnya mendengar penuturan kekasih yang sangat dicintainya itu. Raut suram yang sempat dia lihat sekilas tadi ternyata bukanlah pengaruh letih karena menempuh perjalanan jauh, akan tetapi merupakan kesedihan yang lahir karena bencana yang baru dialaminya di tempatnya bekerja. Di pabrik tempat Fajar bekerja beberapa hari yang lalu terjadi kebakaran hebat yang meluluhlantakkan nyaris semua bangunan pabrik. Pabrik kulit itu tak bisa beroperasi lagi. Pemilik pabrik stres. Ribuan pekerja kehilangan pekerjaan. Akan halnya dengan Fajar, pemuda dari desa itu tidak hanya kehilangan kerja, tapi juga cintanya.

“Mungkin kita memang tidak berjodoh, Sar,” ucap Fajar lirih. “Menikahlah dengan Joko. Mungkin ayahmu benar, dia lelaki yang cakap mencari duit, tidak lemah sepertiku.”

“Aku tak mau. Kita minggat saja Mas. Nikahi aku di tempat yang tidak diketahui ayahku yang mata duitan itu. Aku siap kau bawa pergi kemana pun,” berkata Sari dengan mata berkaca-kaca. Suaranya bergetar.

“Tidak bisa begitu, Sar. Kita tak mungkin lakukan itu. Menikahlah dengan Joko. Suatu saat kau pasti bisa mencintainya. Aku sudah cukup bahagia melihat kau bahagia.”

Sepasang kekasih itu masih berbicara sampai beberapa lama.

Rembulan tiba-tiba dikerubuti awan. Cahayanya berubah menjadi suram. Sesuram hati kedua remaja desa itu. Fajar mengelus pundak kekasihnya. Namun gadis itu masih tetap sesenggukan. Kemudian Sari berjalan meninggalkan tempat itu, membawa isak tangis. Tak ada lambaian tangan. Yang ada hanya isakan tangis. Ya, gadis itu masih terus menangis dalam ayunan langkahnya. Membawa kesedihan karena kehilangan cintanya.

* * *

Tembang sore mengalun dari sound system menerobos sudut-sudut kampung kecil itu. Tembang itu adalah tembang pesta pernikahan Puspitasari dengan Joko. Meriah sekali pesta itu. Dan di sudut yang lain, Fajar merasa tembang itu adalah sembilu yang menyayat hatinya. Pemuda yang tengah patah hati itu sedang membuat api unggun membakar ketela bersama adiknya.

“Mas Fajar nggak datang ke pernikahannya Mbak Sari?”

“Nggak.”

“Kenapa?”

Fajar diam membiarkan adiknya itu tidak mendapat jawaban. Suara dendang tembang itu pun tiba-tiba juga terhenti berganti tabuh beduk disusul suara adzan bersahut-sahutan dari surau-surau. Waktu maghrib telah tiba. Dari surau dekat rumahnya kemudian terdengar suara ayahnya melantunkan pujian, menantikan jemaah.

tombo ati ono limo perkarane

kaping pisan moco qur’an angen-angen sak maknane

kaping pindo wong kang soleh kumpulono

kaping telu shalat wengi lakonono

kaping papat weteng iro ingkang luwe

kaping limo dzikir wengi ingkang suwe

salah sijine sopo biso ngelakoni

insyaallah Gusti Allah ngijabahi

Fajar mengambil air wudhu di pancuran, adiknya pun mengikuti. Kemudian kakak beradik itu berjalan meninggalkan bara api yang membakar ketela itu. Meninggalkan bara api yang juga membakar hati pemuda itu. Langkahnya tertuju ke surau. Fajar berjalan menuntun adiknya yang kedodoran memakai sarung sambil membawa oncor.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan