Di Jalan Surabaya, kawasan Menteng, Jakarta Pusat terdapat pasar yang legendaris. Ia dikenal sebagai pasar barang-barang antik atau kuno, dan berarti juga barang loak. Segala jenis barang antik, kuno, atau loak yang tak jarang memiliki nilai sejarah atau nostalgia dijajakan di sana. Karena itu, meskipun barang loak, harganya masih selangit.
Begitu legendarisnya, pasar loak Jalan Surabaya ini sudah menjadi seperti destinasi wisata. Bahkan banyak bule yang berkunjung ke pasar ini, termasuk untuk berburu barang antik.
Suatu hari, KH Hasyim Muzadi pelesiran ke pasar loak di Jalan Surabaya ini. Di sela pelesirannya, Kiai Hasyim tertarik untuk membeli lampu gantung kuno yang dinilainya cukup antik.
“Ini berapa harganya pak?” tanya Kiai Hasyim kepada pedagang lampu di sana.
“Yang benar-benar kuno dua juta rupiah pak. Yang produksi baru lima ratus ribu,” jawab si pedagang.
Rupanya, Kiai Hasyim memang menyukai barang-barang kuno. Maka, Kiai Hasyim meminta satu set lampu gantung yang kuno. “Saya beli satu yang kuno pak.”
Pedagang itu akhirnya menyerahkan satu set lampu gantung kepada Kiai Hasyim. Namun, setelah memeriksa barangnya, Kiai Hasyim hanya menyerahkan uang Rp 500.000 kepada si pedagang. Si pedagang pun langsung protes.
“Harganya dua juta pak, bukan lima ratus ribu!”
Kiai Hasyim sambil tersenyum menjawab, “Itu, kan, kalau barangnya kuno. Yang ini, kan, masih baru. Kelihatan, kan, bedanya yang kuno dan yang baru diproduksi.”
Tak mau tertipu, Kiai Hasyim meminta si pedagang untuk bersama-sama memeriksa barangnya. Rupanya, meski terpojok, si pedagang tak mau kalah. “Alaaah pak…, biarkan saja tergantung di rumah bapak, lama-lama lampu ini, kan, kuno sendiri. Jadi harganya tetap dua juta…”
Seketika, Kiai Hasyim terdiam keheranan sambil menatap si pedagang lampu itu. Setelah beberapa saat, si pedagang lampu memecah kebisuan.
“Maaf pak, sampean kok seperti Pak Hasyim ya?”
“Iya, sampean kok tahu?”
“Pak Hasyim Muzadi yang punya Pondok Al-Hikam itu?”
“Iya, sampean kok tahu?”
“Pak Hasyim Muzadi yang Ketua Umum PBNU itu?”
“Iya, sampean kok tahu?”
Si pedagang lampu itu langsung belingsatan. “Kenapa dari tadi tidak bilang-bilang kalau sampean itu Kiai Hasyim Muzadi. Kan, gak enak saya… malluuu…”
Mendengar jawaban itu, Kiai Hasyim kembali terdiam keheranan sambil menatap si pedagang lampu antik itu.
Kita tak tahu ending ceritanya bagaimana. Sebab, Kiai Hasyim hanya menaruh koma pada ceritanya tersebut.
Bisa jadi, si pedagang lampu itu akan buru-buru salaman dan mencium tangan Kiai Hayim, lalu dengan tergopoh-gopoh memasukkan barang tiga atau empat lampu gantung ke dalam mobil Kiai Hasyim. Dan, ketika Kiai Hasyim menegurnya, “Pak, saya kan cuma beli satu lampu,” si pedagang akan menjawab, “Semua saya amalkan, saya sedekahkan buat pondok Pak Kiai.”
Atau, bisa jadi, entah berapa tahun kemudian, Kiai Hasyim akan datang kembali ke toko lampu di Jalan Surabaya itu untuk membayar sisanya ketika lampu yang tergantung di rumahnya itu sudah terbilang benar-benar kuno. Wallahualam bishawab.
Catatan: Humor itu saya nukil dari kanal Youtube yang belum lama ini saya simak. Humor itu terselip dalam ceramah KH Hasyim Muzadi di Pondok Modern Gontor pada 2016, setahun sebelum beliau wafat pada 16 Maret 2017 wafat. Al-Fatihah…