Dua bulan lalu, tepatnya 2 Februari, genap 29 tahun KH Mukhtar Syafaat berpulang. Semasa hidupnya, ia tercatat sebagai salah satu kiai paling berpengaruh di Banyuwangi, sampai dijuluki sebagai “Imam al-Ghazali” dari Tanah Jawa. Terekam betapa panjang perjuangannya untuk mencapai maqom tertinggi.
KH Mukhtar Syafaat, yang biasanya disapa Kiai Syafaat, sebenarnya memang terlahir dari keluarga kiai dan berkecukupan secara ekonomi. Namun, ketika mondok dari satu pesantren ke pesantren lainnya, ia bukan tergolong santri istimewa. Bukan tergolong santri yang cerdas. Bukan pula santri kaya. Ia santri penyendiri, sakit-sakitan, dan harus bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kiai Syafaat dilahirkan di Ploso Klaten, Pare, Kediri, Jawa Timur pada 1918 dari pasangan Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Pasangan ini memiliki tujuh anak, salah satunya Kiai Syafaat. Abdul Ghafur merupakan peternak kerbau dan terbilang petani kaya di daerahnya. Sementara, kakeknya, Kiai Bariman, merupakan seorang kiai yang oleh masyarakat dipercaya memiliki banyak karomah.
Santri Kasab
Saat kecil, Kiai Syafaat belajar mengaji di surau desa. Gurunya bernama Sumantoro. Kepada Sumantoro, Kiai Syafaat belajar al-Quran, tajwid, dan membaca kitab Sullam-Safinah. Saat usinya 10 tahun, Kiai Syafaat dipondokkan ke Pesantren Tebuireng yang diasuh KH Hasyim Asy’ari.
Saat sudah mondok selama enam tahun di Tebuireng, sang ayah hendak memanggil Kiai Syafaat pulang. Jika Kiai Syafaat sudah pulang, giliran adiknya yang akan dikirim ke Tebuireng. Begitulah keinginan Abdul Ghafur, agar anak-anaknya bisa nyantri bergantian. Namun, merasa ilmunya belum cukup, Kiai Syafaat tak ingin pulang. Ia malah pergi ke Blokagung, Banyuwangi, Jawa Timur, dan tinggal di rumah kakak perempuannya. Tujuannya, agar masih bisa belajar di tempat lain.
Niatan itu akhirnya terkabul juga. Sekitar 1934, Kiai Syafaat mulai mondok di Pesantren Paras Gempal, berguru kepada KH Abdul Manan. Di pesantren ini Kiai Syafaat mulai sakit-sakitan. Dua tahun kemudian ia pindak mondok di Pesantren Tatsmirith Tholabah di Jalen Genteng, di Banyuwangi bagian selatan. Saat itu, Pondok Jalen ini diasuk Kiai Ibrahim, yang mengajari Kiai Syafaat kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali.