Kilat Golok Pejuang

133 views

Sedari tadi terus kugenggam erat golok berukir ular di dalam baju. Sudah sejak beberapa tahun lalu aku mengabdikan diri menjadi tentara Paderi yang mendukung Harimau nan Salapan untuk menegakkan agama Islam di tanah Minangkabau. Berulangkali Belanda menerapkan strategi licik menyerang kami.

“Sudah kubilang, Bang. Belanda itu hanya penjilat. Seharusnya kita tidak mendatangi perundingan yang berakhir ditangkapnya panglima,” racau Ngadiran dengan napas terengah di belakangku.

Advertisements

“Aku sendiri sebenarnya tak menyetujui kesepakatan untuk berunding di daerah Palupuh. Namun apa? Kita hanya tentara biasa,” kutolehkan wajahku menghadap Ngadiran.

Dengan tatapan tajam, kembali kuarahkan pandangan ke markas Belanda yang beberapa waktu lalu pasukannya menangkap Tuanku Imam Bonjol. Seorang tentara dengan wajah mabuk tiba-tiba mendatangi kami. Seenaknya saja, dia langsung mengucurkan air seninya di gorong tempat kami bersembunyi. Tampak sekali dia mabuk berat, tak menyadari keberadaan kami di bawahnya.

“Ssst. Jangan berisik,” kutatap wajah Ngadiran yang tegang. Memahami isyarat wajahku, ia mengangguk.

“Sialaaaan! Mau apa kalian..,” kaget tentara itu saat kutarik. Belum selesaai omongannya, sebilah golok sudah membungkamnya. Segera saja kulucuti baju dan senapannya. Kini aku sudah berganti seragam untuk penyamaran.

“Bang, kau yakin? Di dalam masih banyak tentara yang berpesta. Mungkin ratusan orang,” sambil menatapku, Ngadiran menunjuk gedung di hadapan kami.

Ingatanku menerawang perjalanan kami. Kuhirup perlahan udara malam, sembari memindahkan golok ke pangkuan. Senjata peninggalan mendiang ayah yang juga menjadi tentara Paderi. Dengan yakin kuanggukkan kepala.

“Kita sudah sejauh ini, Ran. Untuk apa kembali? Secepatnya kita harus mendapatkan informasi di mana panglima,” jelasku padanya.

Tahun 1837 inilah dengan liciknya Belanda memanipulasi perundingan. Pertemuan yang disepakati tanpa membawa senjata. Namun, kami dibodohi. Akhirnya Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan dibawa ke benteng mereka.

“Misbah, segera kau ajak Ngadiran untuk mengikuti rombongan yang membawa panglima! Kami akan mengurus para tentara Belanda ini,” perintah salah satu dari anggota Harimau nan Salapan kepadaku.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan