Seorang kiai radikal di sebuah pesantren di Madura melarang santri-santri dan masyarakat sekitarnya mendengarkan musik atau lagu-lagu, kecuali musik Arab atau lagu padang pasir yang bertemakan puji-pujian kepada Allah atau selawatan kepada Nabi.
Adapun jenis-jenis musik yang dilarang, yaitu musik (lagu) dangdut dan pop atau sejenisnya yang bertema tentang percintaan. Tidak hanya itu, lagu-lagu budaya (daerah Madura) seperti saronen, macapat, mamacah, ngijhung, dan yang lainnya juga dilarang, bahkan dikatakan haram. Menurutnya, orang yang menyenandungkan dan yang mendengarkannya akan masuk neraka.
Jika ada hajatan seperti acara nikahan, sunatan, molang areh (selamatan untuk bayi yang baru lahir) dan yang lainnya, kemudian di situ tuan rumah menyetel musik yang dilarang oleh sang kiai tersebut, maka sang kiai yang diundang itu dijamin tidak akan menghadirinya. Bahkan jika yang mempunyai hajatan masih sekampung dengan sang kiai, maka sang kiai “radikal” ini tidak segan-segan akan menyiarkan di loud speaker di masjid atau musala di pesantrennya atau di masjid di kampungnya dan mengimbau agar si empunya hajatan segera menghentikan bunyi-bunyian musik dari sound system atau loud speaker-nya.
Yang lebih parah dan menegangkan lagi, yaitu apabila si empunya hajat tidak kunjung mematikan bunyi-bunyian atau musiknya setelah sang kiai melarang dengan menyiarkannya di loud speaker, maka sang kiai tidak segan-segan mendatangi tuan rumah dengan ca’ngoca’en (mengata-ngatain) dengan kalimat-kalimat pedas dan menyudutkan, bahkan menganggapnya calon penghuni neraka, sambil mengacung-acungkan sebilah parang atau pedang. Seringkali pula, sang kiai radikal tersebut menghujani rumah si empunya hajatan dengan batu dan kerikil.
Jika hal tersebut sudah terjadi, maka biasanya masyarakat akan segera mematikan bunyi-bunyian musiknya tersebut dan meminta maaf kepada sang kiai, atau malah bersembunyi dan kabur dari tempat kejadian (rumahnya sendiri) saat itu juga.