Jangan Jadikan perbedaan pendapat sebagai sebab perpecahan dan permusuhan. Karena yang demikian itu merupakan kejahatan besar yang bisa meruntuhkan bangunan masyarakat, dan menutup pintu kebaikan di penjuru mana saja. (Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ariy)
KH Abdul Chalim menjadi salah satu kiai berperan aktif dalam pergolakan kemerdekaan pada tahun 1945-an bersama KH Wahab Hasbullah beserta kiai-kiai Nusantara lainnya. Sosok Kiai Abdul Chalim sulit dilacak jejaknya tanpa melihat buku atau referensi yang menjelaskan tentang peran dan sepak terjangnya sebagai tokoh pergerakan pada masa tersebut.
Sosok Kiai Abdul Chalim menjadi menarik untuk diteliti ketika sepak terjang salah satu putranya, KH Asep Saifudin Chalim, tengah “down to earth” di Indonesia bahkan peran Kiai Asep sangat penting bagi tumbuh kembangnya organisasi sayap Nahdlatul Uluma (NU), yaitu Persatuan Guru NU (Pergunu).
Kiai Asep, pengasuh Pesantren Amanatul Ummah Pacet Mojokerto, merupakan salah satu putra Kiai Abdul Chalim yang konsisten memberikan perhatian khusus pada dinamika politik, pendidikan, kebudayaan, maupun sosial-keagaaman di Indonesia. Komitmen Kiai Asep tertuang jelas dalam visi pesantren yang dikelolanya, untuk mewujudkan manusia yang unggul, utuh, dan berakhlaqul karimah untuk kemuliaan dan kejayaan Islam dan kaum muslimin Indonesia.
Dari latar belakang itulah, saya menilai bahwa Kiai Asep memang mempunyai trah kiai besar yang memang aktif dalam perebutan kemerdekaan dan seluruh hidupnya menjadi milik bangsa Indonesia. Hidup hanya untuk berjuang menjadi komitmen serius Kiai Asep dalam mewujudkan Indonesia yang maju, adil, dan makmur.
Banyak sisi kehidupan Kiai Abdul Chalim yang harus diteliti lebih serius dengan pijakan sosialogis-antropologis. Kompleksitas masyarakat dengan pluralitas karakter manusia menjadi atensi Kiai Abdul Chalim dalam ikut memperjuangkan kemerdekaan dari genggaman penjajah, ukhwah basyariyah dikonstruk dengan KH Wahab Hasbullah menjadi landasan sosiologis menciptakan tatanan masyarakat bermartabat.
Di sisi lain, etika Kiai Abdul Chalim sebagai seorang santri ketika belajar kepada Kiai Hasyim Asy’ariy di Hijaz menjadi argument filosofis bagamana idealnya membangun seni komunikasi dengan kalangan yang sangat mendewakan strata sosial saat itu. Nasionalisme, ide solidaritas maupun, konsep pengembangan pesantren dalam perspektif Kiai Abdul Chalim nyang belum terkodifikasi dengan apik menjadi tugas mereka yang ingin meneliti peran Kiai Abdul Chalim lebih dalam. Lebih-lebih civitas akademika Amanatul Ummah yang terus berbenah menjadi lembaga pendidikan unggul dan utuh seperti yang diekspektasikan oleh Kiai Asep.