Lampu-lampu yang Tak Pernah Padam

Kampung itu selalu berbeda setiap kali bulan Rabiulawal tiba. Dari kejauhan, jalan tanah yang biasanya gelap seperti terowongan kini bercahaya. Bukan cahaya listrik—kampung itu masih akrab dengan malam yang gulita—melainkan penerangan dari minyak tanah yang ditampung dalam botol kaca, digantung di antara pohon pisang dan bambu. Cahaya-cahaya kecil itu bertemu, menjelma samudra bintang yang berpendar di bumi.

Anak-anak berlarian sambil membawa rebana kecil. Tangan mungil mereka menabuh sembarangan, tapi suara yang lahir tetap membuat dada bergetar: bunyi persiapan, bunyi kehidupan. Ibu-ibu sibuk di dapur surau, menyiapkan talam berisi apam, wajik, dan kolak pisang. Sementara itu dari ruang dalam surau, suara para lelaki tua terdengar membaca syair berirama, barzanji yang dilagukan dengan suara serak tapi hangat.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Di tepi jalan, seorang pemuda berdiri diam. Rasyid namanya. Matanya menatap pada deretan lampu minyak yang bergoyang diterpa angin. Bagi orang lain lampu itu simbol suka cita. Tapi bagi Rasyid, lampu itu menyimpan luka.

Setahun lalu di malam Maulid yang sama, ayahnya wafat. Ketika pulang dari surau selepas acara, ayahnya jatuh di jalan. Kehabisan napas tanpa sempat pamit. Orang-orang bilang ajal memang rahasia, tak bisa ditawar. Namun bagi Rasyid, sejak malam itu cahaya Maulid terasa seperti cahaya yang merampas: ia mengambil sosok yang paling berarti dalam hidupnya.

“Besok malam Maulid,” suara ibunya membuyarkan lamunan. Perempuan renta itu menepuk bahu anaknya dengan lembut. “Jangan lupa hadir. Bapakmu dulu selalu ada di barisan depan.”

Rasyid hanya mengangguk samar. Lidahnya kelu. Sejak kepergian ayah, ia tak lagi sanggup menjejakkan kaki ke arak-arakan Maulid. Baginya, apa arti menyalakan seribu lampu, kalau satu cahaya yang paling ia kenal justru padam selamanya?

Tahun ini perayaan Maulid terasa berbeda. Bukan hanya karena Rasyid enggan, tapi karena kampung terbelah oleh perdebatan. Di rumah-rumah panggung orang bercakap dengan nada panas. Sebagian ingin agar arak-arakan tetap digelar, lampu dinyalakan, syair dilagukan. Mereka percaya, Maulid bukan sekadar pesta—ia adalah tali yang mengikat kampung agar tetap utuh. Cara sederhana menjaga teladan Nabi tetap hidup dalam ingatan.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan