Ada fenomena defisit seni budaya di kalangan umat Islam, khususnya di lingkungan pesantren. Fenomena ini tampak pada hilangnya berbagai bentuk dan jenis kesenian yang pada masa sebelumnya menjadi sarana efektif untuk mengajarkan dan mengenalkan Islam kepada masyarakat melalui kegiatan dakwah Islamiyah. Jika tidak hilang, paling tidak seni budaya tersebut menjauh dari kalangan pesantren. Beberapa contoh yang dapat disebut misalnya seni mocopat, syi’iran, kentrung, emprak (Yogyakarta), dan yang paling monumental adalah seni wayang.

Paling tidak ada tiga sebab utama yang menyebabkan terjadinya defisit seni budaya Islam pesantren ini. Pertama, adanya arus industrialisasi seni budaya, yakni suatu gerakan menjadikan seni sebagai barang industri yang diperjualbelikan demi keuntungan material. Seni budaya yang dianggap tidak memiliki nilai jual akan digerus, bahkan dilindas. Sebaliknya, seni budaya yang memenuhi kriteria industri dan mengandung nilai komersial tinggi diberi ruang publik luas, akses sosial, dan dukungan publikasi besar.

Kedua, munculnya gerakan puritanisme dan formalisme agama yang antitradisi dan seni budaya. Gerakan ini berusaha “memurnikan” ajaran Islam dengan menghapus berbagai bentuk tradisi dan kesenian karena dianggap mengotori kemurnian agama. Mereka berupaya mengembalikan kehidupan Islam seperti pada masa Nabi, sehingga menjadikan konstruksi sosial era Nabi sebagai rujukan dalam mengamalkan ajaran Islam.
