Logika Yunani dan Taqlid Buta

32 views

Di sudut perpustakaan pesantren yang lembap, jari-jariku gemetar membuka halaman Beyond Good and Evil karya Nietzsche yang kusembunyikan di balik sampul Syarh Alfiyah Ibnu Malik. Belum sampai sepuluh menit, tangan kasar Kiai Bahar mencabut buku itu dari genggamanku.

“Ini haram! Filsafat merusak akidah!” katanya, dengan suaranya menggelegar seperti azab.

Advertisements

Tapi anehnya, di rak bukunya sendiri, tersandar Sullam al-Munawraqkitab mantiq (buku tentang logika) yang isinya tak lebih dari logika Aristoteles yang diislamisasi. Aku ingin bertanya: “Kiai, kalau filsafat itu haram, mengapa kita makan mentah-mentah pemikiran Yunani?” Tapi mulutku terkunci.

Al-Ghazali, ulama besar yang dikultuskan di pesantrenku, pernah menulis: “Siapa yang tidak menguasai mantiq, ilmunya tidak terpercaya.”1

Kata-kata itu terpampang di dinding musala, tapi tak seorang pun sadar: mantiq yang diajarkan Al-Ghazali adalah adaptasi dari logika Aristoteles—filsuf Yunani yang disebut “Guru Pertama” oleh Ibnu Sina.

Di sini, di pondok yang mengutuk Nietzsche, kami justru menghafal silogisme Aristoteles setiap Senin pagi. “Semua manusia akan mati. Socrates adalah manusia. Maka, Socrates akan mati.” Tapi coba ganti “Socrates” dengan “Demokrasi” atau “Hak Perempuan”, semua santri akan berteriak: “Itu filsafat kafir!”

Padahal, Al-Qur’an berulang kali menantang kita dengan pertanyaan “Afala ta’qilun?” (Apakah kalian tidak berpikir?).2

Tapi lihatlah realitas hari ini: ketika seseorang mengkritik kebijakan kiai, ia langsung dianggap “membenci ulama”. Ketika aku mempertanyakan fatwa yang tak masuk akal, jawabannya selalu: “Sudah, ikuti saja! Ini untuk kebaikanmu!”

Persis seperti orang-orang yang diejek Al-Qur’an: “Mereka berkata: ‘Kami mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.’ Padahal, nenek moyang mereka itu tidak memahami apa pun.”3

Di abad ke-12, Ibnu Rusyd berdebat dengan Al-Ghazali tentang hubungan akal dan wahyu. Tapi hari ini, kita bahkan tak boleh berdebat. Filsafat dianggap bid’ah, padahal qiyas (metode analogi dalam fikih) yang diajarkan di pesantren adalah saudara kembar silogisme Aristoteles.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan