Lafaz kurban berasal dari akar kata “qaraba” yang berarti mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah kurban dilaksanakan oleh seluruh umat muslim di seluruh dunia sebagai implementasi sifat terpuji, yaitu dermawan, bahkan sebagai media untuk memperoleh rahmat Allah serta inayah-Nya.
Berkurban adalah simbol rasa syukur dengan cara berbagi daging kurban pada sesama. Hal ini dilaksanakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah. Sedangkan, hewan yang boleh dijadikan kurban adalah sapi, unta, kambing, dan domba, meskipun ada pendapat sebagian ulama yang membolehkan semua binatang ternak dijadikan kurban. Namun pendapat ini tergolong lemah.
Ibadah kurban disyariatkan pada tahun ketiga setelah hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya penyembelihan hewan kurban sudah ada sejak pra-Islam. Bahkan dipraktikkan oleh orang-orang kafir dan juga Yahudi sebagai bentuk persembahan untuk memperoleh kekayaan dan perlindungan kepada selain-Nya dengan pengorbanannya tersebut. Agama Islam hadir dalam rangka mengubah tradisi yang kurang baik menjadi baik.
Sebenarnya, melihat makna kurban tidak hanya fokus pada penyembelihan binatang ternak. Namun seluruh aktivitas manusia sehari hari juga bisa dianalogikan dengan makna kurban-pengorbanan, mulai dari pengorbanan orang tua kepada anaknya dalam hal mencari nafkah, perjuangan guru dalam mendidik siswanya, kiai dalam membimbing santrinya. Itu semua berakar dari sebuah kata kurban.
Dari sinilah kurban mempunyai dua makna, makna hakiki dan nisbi. Dalam makna hakiki, sesuai dengan perintah Allah kepada umatnya melalui media binatang ternak. Sedangkan, dalam makna nisbi, sebagai bentuk pengorbanan manusia dalam keseharian. Namun, dalam pembahasan ini, penulis fokus dari sisi amaliah kurban yang pernah dipraktikkan Nabi Ibrahim atas perintah Tuhan agar menyembelih anaknya, Ismail, kemudian Allah menggantinya dengan domba.
Dari berbagai kajian kitab-kitab tafsir, syarah hadis dan fikih baik klasik maupun kontemporer pada bab udhiyah (binatang ternak), surat al-Kautsar, sebagai dalil kurban, terutama pada ayat 2, فصل لربك وانحر. Berdasarkan ayat kedua tersebut, mufassirin berbeda pendapat dalam menafsiri lafaz “fasalli”. Misal Ibnu Abbas menafsiri lafaz “shalli” dengan salat wajib. Sementara Ibnu Jarir dan Ibnu Mansur, menafsirinya dengan salat fajar. Sedangkan, Ibnu Abdil A’la menafsiri dengan salat Idul Adha (Abu Ja’far Jarir Al-Thabari, Tafsir al- Thabari Juz 24, Hal; 280). Dari pernyataan ulama tafsir tersebut,penulis lebih setuju dengan pendapat Ibnu Abdil A’la, karena lebih sesuai dengan konteks.
Berdasarkan dalil nagli Al-Qur’an dan Hadis, ulama fikih berbeda pendapat tentang penentuan status hukumnya. Misal Imam Syafi’ie dan Imam Malik, menyatakan bahwa hukum kurban termasuk sunnah muakkad, kecuali bernazar untuk melaksanakannya, maka menjadi wajib. Sementara, Imam Hanafi, mewajibkan bagi muqimin yang mampu, dan tidak wajib bagi musafir. Abu Yusuf, salah satu sahabat Abu Hanifah, berpandangan lain. Menurutnya tidak wajib (Sayyid Muhammad Bin Ismail, Subulus Salam, Juz 4, Hal :93 ).
Kenapa ulama fikih berbeda pendapat dalam masalah ini? Karena berlandaskan dua hal: Pertama, apakah Rasulullah melaksanakan ibadah kurban berdasarkan hukum wajib atau sunnah? Jika melihat beberapa riwayat, Rasulullah tidak pernah meningalkan kurban selama hidupnya. Kedua, berbedanya memahami teks hadis tentang hukum udhiyah.
Kapan waktu penyembelihan kurban? Membincang waktu penyembelihan kurban, ulama fikih sepakat bahwa waktu pelaksanaannya setelah salat id sampai hari tasyrik. Dalam hal ini, Abul Walid pengarang kitab Bidayah Al-Mujtahid, membaginya kepada tiga bagian, yaitu permulaan, akhir, dan malam, di mulai setelah salat id dan berakhir pada tanggal 13 Ddulhijjah. Bisa dilaksanakan pada malam hari jika ada uzur.
Kalau terpaksa ada seseorang yang menyembelih hewan kurban pada tanggal 9 Dzulhijjah, jelas tidak sah. Hal ini pernah terjadi pada masa Nabi. Saat itu, seorang sahabat menyembelihnya sebelum salat id, akhirnya Nabi memerintahkan Abi Hurairoh untuk mengulang penyembelihan kurban karena disembelih sebelum salat id. (Abul Walid Muhammad Bin Ahmad, Bidayatul Mujtahid, Juz 1, Hal, 314)
Cara menyembelih hewan kurban, ulama fikih memberikan beberapa syarat antara lain: Pertama, menghadap kiblat. “قال الشافعي واحب ان يوجه الذبيحة الي القبلة”. Kedua, dhabih (penyembelih) disunatkan membaca basmalah “بسم الله والله اكبر اللهم هذا عني وعمن لم يضح من أمتي”. Ketiga, melafazkan niat. Ketiga syarat tersebut menjadi acuan dan penentu akan diterimanya amaliah kurban di sisi-Nya.
Semoga terlaksananya ritual kurban bagi segenap masyarakat muslim, menjadi media sebagai pembersih rohani dari noda-noda hitam yang bersarang dalam hati menuju cahaya ilahi, dan bermuara kepada satu kata “taqarrub”. Semoga bermanfaat.