Desakan pola pikir manusia harus diakui bahwa terlalu jauh menyimpang dari tugas dan amanah yang Tuhan berikan. Hal demikian membawa berbagai konsekuensi yang tidak melulu menguntungkan. Juga mengandung berbagai risiko yang berhubungan dengan dirinya maupun orang lain.
Buku ini mengajak para pembaca untuk membaca ulang, me-refresh, segala hal yang dilaluinya. Fakhruddin Faiz memulai tulisannya dengan menyadarkan kembali siapa diri kita sebenarnya. Pada fitrahnya, manusia adalah hamba Allah. Adam sebagai manusia pertama diciptakan dari tanah. Dalam dirinya ada kandungan tanah, diberi ruh dan diberi bentuk.
Tujuan Allah menciptakan manusia adalah tidak lain sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai pemimpin dan wakil Allah, maka sudah seharusnya kita memposisikan diri sebagai cermin Allah. Wakil itu mempunyai tugas posisi yang diwakili. Namun, kendati kita menjadi wakil-Nya, jangan lantas hidup seenaknya layaknya yang diwakili.
Manusia tidak memiliki pakem awal. Dia lahir dalam keadaan kosong sebagaimana yang digambarkan dalam QS. An-nahl: 16. Semua pengetahuan didapatkan setelah akal berfungsi dan itu dipengaruhi oleh lingkungan alam sekitar, baik antar-sesama maupun dengan alam semesta. Menjadi baik atau buruk, tergantung sejarah hidup dan pengaruh yang didapatkan.
Contoh sederhananya dilihat dari buku ini, Fakhruddin sebagai sarjana akidah dan filsafat banyak melibatkan tokoh filsafat, baik tokoh filsafat Barat maupun Muslim. Ini memberi bukti sederhana bahwa lingkungan juga sangat menentukan dan berpengaruh kepada seseorang.
Secara umum, fitrah manusia memiliki beberapa kecendrungan. Dipercayai bahwa kita punya kecendrungan positif. Hati nurani yang Allah berikan kepada manusia memberikan sumber agar berbuat baik kepada siapa pun dan di mana pun. Kecenderungan ini mengajak dan terus mengajak kepada kebaikan. Sebiadab apapun tingkah manusia, dalam lubuk hatinya akan timbul rasa sesal, kasihan, dan iba.
Di sisi lain, manusia juga mempunyai kecenderungan negatif. Hal ini dimotori hawa nafsu yang terus mengendalikan dan menggerakkan tingkah laku manusia. Jika manusia terus mengikuti nafsunya, semuanya tak akan terbatas. Hal ini menyalahi fitrah manusia yang penuh keterbatasan dan melakukan semaunya bak Tuhan yang Maha Tak Terbatas.