Salah satu bulan yang mulia dalam kelender Islam disebut dengan Rabiul Awal, yang merupakan bulan kelahiran Rasulullah Saw. Umat Islam baik di negeri ini maupun di seantero dunia menjadikannya sebagai bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw atau sering disebut bulan maulid.
Peringatan Maulid Nabi ini menandakan bahwa seluruh umat Islam menghormati kelahiran nabi dengan cara memperbanyak membaca selawat sebagai bentuk kecintaan dan menapaktilasi kembali sejarah perjuangan Nabi dalam syiar dan dakwah Islam, meneladani akhlak dan perilaku yang diajarkannya.
Tidak hanya itu, kita sebagai umatnya harus bisa menjaga dan mengamalkan apa yang telah dicontohkan dan diajarkan oleh Rasulullah sebagai pedoman dalam hidup.
Karena itu, para ulama menganjurkan kepada kita untuk memuliakan bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Bahkan di Aceh sendiri bulan maulid sangat panjang waktunya, tiga bulan lamanya sejak bulan Rabiul Awal hingga seterusnya.
Husaini Ibrahim, seorang sejarawan, meyakini perayaan tradisi Maulid tiga bulan sudah dilakukan sejak masa Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ketika itu, Kesultanan Aceh mencapai kejayaan.
Pada waktu itu, kerajaan sangat makmur dan perkembangan Islam maju pesat. Ulama-ulama menganjurkan peringatan Maulid sampai tiga bulan sebagai wujud kecintaan pada Rasulullah dan bentuk syiar Islam. Peringatan Maulid ini dirayakan secara turun temurun selama tiga bulan.
Sementara itu dalam almanak Aceh terdapat tiga bulan yang dipakai untuk merayakan Maulid. Ketiganya adalah molot (maulid awal), adoe molot (maulid pertengahan), dan molot keuneulheueh (maulid akhir)
Memperkuat argumen di atas, Imam as Suyuthi mengajarkan dan menganjurkan untuk menyambut bulan maulid dengan melakukan aktivitas yang bernilai ibadah. Seperti berpuasa, bersedekah, dan membaca Al-Quran.
“Syukur kepada Allah swt terwujud dengan pelbagai jenis ibadah, misalnya sujud (mengerjakan shalat sunah), puasa, sedekah, dan membaca Al-Qur’an. Adakah nikmat yang lebih besar pada hari ini dari kelahiran Nabi Muhammad saw, nabi kasih sayang,” (Husnul Maqshid fi Amalil Mawlid, Imam Jalaluddin As Suyuthi).