Hari lebaran tahun ini, Hari Raya Idul Fitri 1442 H, yang jatuh pada hari Kamis, 13 Mei 2021, menyisakan kegembiraan setelah satu bulan penuh berjuang untuk menahan nafsu. Menahan diri dari lapar dan haus beserta hal-hal yang membatalkan pahala puasa lainnya, merupakan bentuk pengabdian dan penghambaan kepada Allah. Momen Idul Fitri seringkali dijadikan kesempatan untuk berkunjung, membangun ikatan tali silaturrahmi, bermaaf-maafan, ziarah kubur, dan lain sebaginya.
Salah satu tradisi dan kebiasaan yang dapat dilakukan dalam situasi “kemenangan ini adalah halal bihalal. Sebuah budaya hari raya, khususnya Idul Fitri, yang diselenggarakan baik oleh perorangan, instansi pemerintah, maupun oleh lembaga keagamaan. Tradisi ini begitu kuat mengakar di kalangan umat Islam, sehingga pelaksanaan halal bihalal meskipun dengan cara yang sangat sederhana, bahkan hanya dilakukan dengan saling berjabat tangan, kebiasaan ini selalu diselenggarakan.
Di lembaga pendidikan, misalnya, sekembalinya mereka ke sekolah, setelah sekian hari libur, umumnya diadakan maaf-maafan dan salam-salaman. Apalagi di lembaga pesantren, halal bihalal selalu dijadikan acara tahunan di saat momen hari lebaran. Para santri —setelah kembali dari libur pondok bagi yang berlibur— berbondong-bondong untuk berhalal bihalal dengan para pengasuh dan juga para sahabat, handai tolan teman-teman santri, meski hanya dengan saling berjabat tangan, dan mengungkapkan “Minal ‘aidin wal faizin; mohon maaf lahir dan batin”.
Sejarah Halal Bihalal
Jejak sejarah halal bihalal dicetuskan pertama kali oleh KH Wahab Hasbullah, tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Pencetus terminologi halal bihalal, KH Wahab, adalah seorang ulama berpandangan modern. Ia menjelaskan bahwa halal bihalal berasal dari kalimat “thalabul halal bithariqin halal”, artinya sebuah cara yang baik dilakukan dengan cara yang baik pula. Hingga saat ini, istilah halal bihalal menjadi sebuah tradisi yang dilakukan dalam rangka silaturrahmi atau acara yang saling memaafkan kesalahan baik disengaja atau tidak disengaja.
Halal bihalal berawal dari keresahan Bung Karno, presiden RI pertama, atas sebuah realitas terkait dengan kondisi politik saat itu. Kemudian, Presiden Soekarno memanggil KH Wahab Hasbullah untuk mencairkan suasana yang kurang kondusif. Pada saat itu terjadi kesenjangan di antara elite politik, bahkan di antara mereka terjadi saling curiga dan saling menyalahkan. Maka diperlukan sebuah cara yang dapat mencairkan suasana tersebut.