Nyadran

Memposisikan Relasi Agama dan Budaya

155 kali dibaca

Merelasikan posisi antara kebudayaan lokal dan agama (Islam) seringkali menghadirkan kondisi dilema. Haruskah menerima kedua atau menolak salah satunya?

Dalam Islam, yang menjadi sumber primer ajaran adalah wahtu yang diturunkan kepada Nabi. Namun, setelah wafatnya Nabi, wahyu tidak lagi turun. Padahal, kebudayaan terus berkembang sesuai dengan kebutuhannya. Sebab, kebudayaan merupakan buah hasil dari kreasi manusia (Koentjoroningrat, 2009).

Advertisements

Karena itu, mau tidak mau kebudayaan akan selalu dibuat berhadapan dengan agama (Islam). Tentu saja ketegangan antara kebudayaan dengan agama (Islam) harus kita jembatani untuk dicarikan jalan tengahnya.

Kebudayaan merupakan hasil dari akal dan budi masyarakat dalam merespons tantangan untuk mencapai kebutuhan hidupnya. Hal tersebut meliputi pengetahuan, kesenian, dan kepercayaan masyarakat yang menjadi tolok ukur yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja (Basori,2017).

Karena itu, dalam bukunya, A Helmy Faishal Zaini (2022) menegaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan cara dakwah yang halus dan selalu mengedepankan kompromi dengan kebudayaan lokal. Islam justru datang tidak mengotopsi sebuah kebudayaan yang sudah membumi di tanah Nusantara ini.

Sebagai contoh, tradisi nyadranan atau ruwahan. Dalam tradisi tersebut, masyarakat Jawa berbondong-bondong menuju ke pemakaman pada bulan Sya’ban untuk mengirim doa kepada saudara atau kerabat yang sudah wafat. Merespons fonemena ini, para penyebar Islam di Jawa  merespons dengan cara yang elok, yakni dengan menyisipkan ajaran-ajarn Islam di dalamnya.

Sebagian kalangan Muslim seringkali menyalahkan dan mengolok-olok tradisi ini.  Bahkan tidak jarang mereka menganggapnya sebagai perbuatan musyrik, bid’ah dholalah (sesat), dengan argumen singkatnya, yaitu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Padahal hal itu sudah diislamkan oleh para tokoh penyebar Islam di Nusantara.

Dalam tradisi nyadran sendiri yang di dalamnya terdapat mantra-mantra dan sesaji sebagai suguhan untuk para leluhur, sudah digantikan dengan bacaan Qur’an, zikir, tahlil, dan makan bersama yang tidak lain dengan tujuan untuk mempererat tali persaudaraan.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan