Nama atau sebutan Alfiyah tidak asing lagi di telinga santri seluruh Indonesia. Bahkan, seringnya terdengar pertanyaan “Apakah sudah hafal Alfiyah?” seakan menegaskan suatu pernyataan imajiner: “Jangan ngaku santri kalau belum hafal Alfiyah”.
Ya, Alfiyah, itulah salah satu kitab yang paling popular di pondok pesantren di seluruh penjuru Tanah Air. Alfiyah merupakan kitab monumental yang sering dikaji bahkan dihafal oleh santri. Alfiyah adalah karangan Muhammad bin Abdullah bin Malik Alandalusy.
Syekh Muhammad menisbahkan namanya kepada Malik, yang tak lain nama kakeknya. Ada dua hal yang melatarinya. Pertama, karena nama kakeknya lebih terkenal daripada ayahnya Abdullah. Kedua, karena Syekh Muhammad tidak ingin menyamakan namanya dengan dengan nama Rasulullah; jika ia menisbahkan namanya kepada nama ayahnya, maka akan menjadi Muhammad bin Abdullah, sama persis dengan nama Nabi Muhammad. Karena kedua alasan inilah mengapa Syekh Muhammad menisbahkan namanya kepada kakeknya, yaitu Malik Alandalusy.
Yang menjadi “tidak lazim” pada Alfiyah Ibnu Malik ini adalah diksi yang dipilih untuk mengawali isi kitab. Dalam bait pertama nadhom Alfiyah bab mukadimah (pendahuluan), Ibnu Malik menggunakan lafaz قال yang merupakan fi’il madhi yang di dalamnya terkandung masa lampau atau sudah terjadi.
Hal ini sangat berbeda dengan karangan-karangan para ulama lain, yang lazimnya menggunakan lafaz fi’il mudhori yang di dalamnya terkandung masa yang sedang terjadi dan masa yang akan terjadi.
Dengan pemilihan diksi tersebut, seakan Ibnu Malik telah memilik rasa optimisme yang tinggi bahwa akan karyannya itu akan menjadi kitab monumental; Ibnu Malik seakan sudah mengetahui terlebih dulu tentang apa yang akan ditulis dari awal sampai akhir di dalam memori otak.
Setelah Ibnu Malik menuliskan bait demi bait apa yang dihafal dalam memorinya, terjadilah keanehan ketika sampai pada bait nadhom yang kelima, yaitu nadhom yang berbunyi:
Mungkin yang perlu digali lagi, selain miateri 1002 kitab Alfiyah, adalah pengarang kitab ini yang enggan menggunakan nama Muhammad bin Abdullah. Padahal dalam realita masyarakat muslim, nama Muhammad dan Abdullah sangat poluler. Atau sebuah kerendah-hatian? Bukannya nama itu sebuah doa?
Baik pak… Terimakasih atas sarannya 🙏😊
Terimakasih ilmunya